Oleh: Mochammad Sinung Restendy, M.Pd.I., M.Sos
KUBUS.ID – Mutu pendidikan Indonesia kurang tepat jika hanya diukur dengan data kuantitatif yang hanya menunjukkan penyerapan kerja lebih dari 60 persen bagi lulusan sesuai dengan profil alumni di Program Studi maka Program Studi tersebut dipandang bermutu dan ideal. Harusnya ada pertanyaan dan dilema di sini?
Ini menunjukkan satu sisi seperti mengamini Industrialisasi kampus, hanya mencetak pekerja, kapitalisme dan dikotomi pendidikan. Mungkin, perlu diskursus akademik agar ada semacam alat ukur yang tepat agar mampu me-report lulusan secara komprehensif. Lulusan benar benar terbukti melalui karya yang menunjukkan penguasaannya terhadap critical thinking, kreasi dan product knowledge, adaptif teknologi juga community development yang baik.
Jangan keluar jalur!
Perenungan kita adalah:
Apakah pendidikan kita sudah benar benar “memanusiakan manusia” secara “utuh” atau hanya sekedar memenuhi ambisi dan jargon adaptif dan sesuai tantangan zaman.
Sehingga kita tanpa sadar mencetak robot robot kecil yang menghamba pada kehidupan yang “transaksional”. Kamu sekolah ya mbayar, dapat ijasah, kerja, cari uang dan modyar.
Jangan sampai kata Merdeka dinodai dengan dikotomi (linieritas) pendidikan juga acara yang “sekedar” seremonial kampus seperti student exchange, magang dan lain-lain, yang sebenarnya tidak ada salahnya, tetap baik. Tetapi harapannya tanpa melupakan laboratorium alam juga di sekitar kita.
Sederhananya, mahasiswa yang kamil, jamil, paripurna, sempurna, utuh, indah akan terasa aktualisasinya saat mereka lulus dengan karya, bukan sebatas kerja, Bos!
Mahasiswa dengan kreatifitas dan skill yang tinggi tetapi tetap tawadu’ sopan rendah hati pada para orangtua yang notabene mereka lulusan SD. Itulah tolak ukur kesuksesan berpendidikan.
Ingat ya, berpendidikan, terdidik gak kita..?? (adr)
*Penulis adalah Sekretaris Forum Pendidikan Diniyah Pontren Inklusi Indonesia sekaligus Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta