Beranda Religi Gelar Haji di Depan Nama: Tradisi Unik yang Menyimpan Jejak Sejarah

Gelar Haji di Depan Nama: Tradisi Unik yang Menyimpan Jejak Sejarah

2962
Jemaah haji Indonesia tiba di Arafah (Dok. Kemenag RI)

KUBUS.ID – Pernah terpikir, kenapa seseorang yang baru pulang dari ibadah haji di Tanah Suci disebut “Haji” atau “Hajjah”? Gelar ini bukan sekadar penanda bahwa ia telah menunaikan rukun Islam kelima. Di baliknya, tersimpan nilai sejarah dan makna sosial yang kuat, terutama dalam budaya Indonesia.

Melansir laman resmi Kementerian Agama (Kemenag RI), filolog sekaligus Staf Ahli Menteri Agama, Oman Fathurahman atau Kang Oman, menjelaskan bahwa tradisi itu memiliki akar historis dan kultural yang kuat. “Perjalanan haji bagi orang Nusantara di masa lalu bukanlah hal mudah. Mereka menempuh rute panjang melintasi samudera, menghadapi badai, perompak, dan gurun pasir,” ujar Oman.

Haji sebagai Gelar Kehormatan

Karena beratnya perjuangan, kata Oman, masyarakat menganggap keberhasilan berhaji sebagai pencapaian luar biasa. Tak heran jika kemudian gelar “Haji” menjadi simbol kehormatan dan spiritualitas yang disematkan pada nama jemaah setibanya di Tanah Air.

Gelar ini bahkan bertahan hingga kini, meski proses haji sudah jauh lebih mudah secara logistik dan teknologi.

Fenomena Serupa di Dunia Islam Melayu

Tradisi serupa ternyata tak hanya berlaku di Indonesia. Antropolog dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dadi Darmadi, menyebut bahwa negara-negara seperti Malaysia, Brunei, Singapura, hingga Thailand Selatan juga memiliki kebiasaan serupa. Bahkan di Mesir, rumah para haji kerap dilukis dengan gambar Ka’bah dan moda transportasi yang mereka gunakan ke Mekkah.

Menurut Dadi, gelar haji bisa dilihat dari tiga perspektif utama:

1. Religius – Haji adalah ibadah puncak dalam rukun Islam yang tak semua Muslim mampu laksanakan. Keberhasilan berhaji dianggap pantas untuk dirayakan dengan gelar khusus.

2. Kultural – Kisah-kisah heroik dan menyentuh tentang perjalanan haji menjadi bagian dari budaya populer dan identitas sosial. Banyak tokoh masyarakat pun bergelar haji.

3. Kolonial – Pada masa Hindia Belanda, gelar haji justru diwajibkan agar para jemaah mudah diawasi. Pemerintah kolonial bahkan membuka konsulat di Arab pada 1872 demi memantau pergerakan jemaah haji.

“Menurut Snouck Hurgronje sendiri, jemaah haji saat itu tidak layak ditakuti secara politik. Namun kekhawatiran kolonial tetap ada,” ujar Dadi.

Makna Gelar Haji di Era Modern

Meski kini berhaji lebih terjangkau, gelar “Haji” tetap menjadi simbol status sosial dan kebanggaan spiritual. Oman mengingatkan, semangat keikhlasan tetap harus dijaga. “Haji yang mabrur adalah mereka yang sepulang dari Tanah Suci menjadi pribadi yang ikhlas, penuh kebaikan, dan menyebar kedamaian,” tuturnya.(adr)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini