KUBUS.ID – Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang melarang penggunaan sound horeg atau sound system bervolume tinggi dalam kegiatan masyarakat menimbulkan pro dan kontra di mata masyarakat.
Psikolog Uswatun Hasanah, S.Psi., M.Psi., menjelaskan bahwa komunitas pecinta sound horeg umumnya memiliki kebutuhan tinggi untuk mengekspresikan diri. Dalam banyak kasus, mereka menganggap suara keras sebagai simbol eksistensi dan identitas kelompok.
“Bagi mereka, ini cara untuk bersenang-senang. Misalnya dengan mengatakan, ‘ini loh cara kami bahagia.’ Tapi masalah muncul ketika cara ini tidak mempertimbangkan kenyamanan dan hak psikologis orang lain,” ujarnya, Jumat (4/7).
Menurut Uswatun, setiap orang berhak mengekspresikan kesenangan, tetapi harus tetap bisa mengendalikan diri agar tidak merugikan orang lain secara emosional maupun psikologis.
Ia menekankan bahwa pendekatan edukatif dan dialog terbuka bisa menjadi solusi yang lebih efektif daripada sekadar pelarangan. Edukasi dinilai mampu mendorong kesepakatan sosial, sehingga kegiatan masyarakat tetap bisa berlangsung tanpa mengganggu kenyamanan publik.
Menanggapi fatwa MUI, Uswatun menyatakan bahwa perbedaan pendapat di masyarakat adalah hal yang wajar. Namun, penting bagi masyarakat untuk memahami esensi dari larangan tersebut.
“Saya melihat MUI tidak semata-mata melarang, tapi ingin mendorong masyarakat untuk lebih berempati dan bertanggung jawab secara sosial,” katanya.
Karena itu, menurutnya, komunikasi yang persuasif dan dialog terbuka sangat diperlukan agar kebijakan seperti ini menemukan jalan keluar yang dipahami dan disepakati bersama. (rif)