KUBUS.ID – Dalam banyak kisah cinta, kita sering mendengar narasi perempuan yang dengan setia mendampingi pasangannya sejak dari titik nol. Ia hadir di masa-masa sulit, membantu secara emosional bahkan finansial, dan berharap kelak akan menuai hasil bersama saat pasangannya sukses. Namun kenyataannya, tidak semua cerita berakhir manis. Beberapa perempuan justru ditinggalkan saat pasangan mereka telah mencapai puncak keberhasilan. Fenomena ini dikenal sebagai from zero to hero syndrome.
Menurut Psikolog Klinis Adelia Octavia Siswoyo, M.Psi., Psikolog, kisah seperti ini tidak asing di ruang praktiknya. Ia mengingatkan bahwa meskipun mendukung pasangan bukanlah hal yang keliru, perempuan perlu tetap bersikap realistis dalam membangun relasi. Harapan yang terlalu tinggi, apalagi tanpa fondasi yang sehat, bisa membuat seseorang terjebak dalam hubungan yang timpang dan berisiko kehilangan arah hidupnya sendiri.
Mengiringi, Bukan Mengorbankan Diri
Seringkali, perempuan yang terjebak dalam sindrom ini rela menunda mimpi pribadinya demi fokus membangun masa depan bersama pasangan. Mereka mungkin berhenti kuliah, melepaskan pekerjaan, atau mengurangi interaksi sosial demi menemani dan mendukung pasangan. Sayangnya, ketika relasi tidak berjalan sesuai harapan—entah karena pasangan pergi atau impian bersama tidak tercapai—mereka merasa hampa dan kehilangan jati diri.
Adelia menekankan bahwa dalam setiap hubungan, penting bagi perempuan untuk tetap memiliki tujuan hidup pribadi yang jelas. “Bertumbuh bersama” bukan berarti menghapus mimpi sendiri demi mimpi orang lain. Justru, hubungan yang sehat adalah hubungan yang memungkinkan kedua belah pihak berkembang secara setara.
Dua Kemungkinan Pahit
Ada dua hal yang perlu disadari sejak awal. Pertama, pasangan yang kamu bantu bisa saja meninggalkanmu saat dia merasa sudah “naik kelas” secara sosial dan finansial. Kedua, ada juga kemungkinan bahwa semua perjuangan tidak menghasilkan apa-apa. Mimpi tak terwujud, dan kamu pun tak punya pegangan lain karena seluruh hidup telah tercurah untuk mendukung orang lain.
Dalam dua skenario tersebut, perempuan berisiko merasa gagal dan menyesal. Perasaan ini bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental, rasa percaya diri, bahkan relasi ke depannya. Maka dari itu, menjaga keseimbangan antara memberi dukungan dan mengembangkan diri sendiri sangatlah penting.
Cinta Sejati Tidak Menuntut Penghapusan Diri
Hubungan yang sehat tidak menuntut salah satu pihak untuk mengorbankan seluruh jati dirinya. Justru, cinta yang dewasa memberi ruang bagi masing-masing untuk bertumbuh— secara karier, mental, emosional, dan spiritual. Ketika perempuan merasa berdaya dan tetap terkoneksi dengan dirinya sendiri, relasi yang dijalani pun akan lebih seimbang dan tahan uji.
Artinya, perempuan tidak perlu merasa bersalah jika ingin mengutamakan pendidikan, karier, atau impian pribadinya, meski sedang berada dalam hubungan. Mendukung pasangan tetap bisa dilakukan tanpa harus kehilangan arah atau menghapus identitas diri.
Akhirnya, yang Akan Selalu Bersamamu Adalah Dirimu Sendiri
Relasi bisa bertahan, bisa juga berakhir. Namun satu hal yang pasti: kamu akan selalu hidup dengan dirimu sendiri. Maka dari itu, penting untuk merawat hubungan dengan diri sendiri terlebih dahulu. Komitmen terhadap pertumbuhan pribadi harus berjalan seiring dengan komitmen terhadap pasangan.
Jadikan hubungan sebagai tempat saling mendukung dan menguatkan, bukan ladang pengorbanan sepihak. Jangan takut untuk bermimpi, belajar, dan berkembang— karena cinta sejati tidak akan menghambat langkahmu, tapi justru akan menyemangati perjalananmu menjadi versi terbaik dari diri sendiri. (thw)
Source: kompas.com