KUBUS.ID – Belakangan ini, istilah manifesting atau manifestasi semakin sering muncul, terutama di kalangan generasi muda dan media sosial. Mulai dari video motivasi hingga unggahan tentang vision board dan afirmasi harian, manifesting tampaknya telah menjadi tren dalam upaya mencapai mimpi dan tujuan hidup.
Namun, seiring meningkatnya popularitas praktik ini, muncul pertanyaan penting: Apakah manifesting benar-benar bisa membantu kita meraih kesuksesan, atau justru membuat kita terjebak dalam harapan semu?
Apa Itu Manifesting?
Secara umum, manifesting adalah proses menciptakan realitas yang diinginkan melalui kekuatan pikiran, niat, dan keyakinan. Banyak orang percaya bahwa dengan berpikir positif, membayangkan masa depan yang diimpikan, serta mengucapkan afirmasi setiap hari, mereka bisa menarik hal-hal baik ke dalam hidup.
Namun, menurut Meity Arianty, STP., M.Psi., seorang psikolog, konsep manifesting sebenarnya lebih kompleks daripada sekadar berpikir positif. Dalam pandangan psikologi, manifesting adalah proses mental yang mencakup keyakinan, fokus pikiran, visualisasi, dan—yang paling penting—tindakan nyata.
“Manifesting bukanlah sulap. Ini bukan tentang duduk diam dan menunggu keajaiban. Harus ada perencanaan, usaha yang konsisten, dan kesiapan untuk beradaptasi,” jelas Meity.
Manifesting dan Kesehatan Mental: Antara Motivasi dan Realita
Meski tidak bersifat magis, praktik manifesting bisa memberi dampak psikologis yang signifikan. Dalam bidang psikologi olahraga, misalnya, teknik mental imagery atau visualisasi terbukti dapat meningkatkan kepercayaan diri atlet dan performa mereka.
Hal yang sama berlaku dalam kehidupan sehari-hari. Mengucapkan afirmasi positif atau menetapkan tujuan yang jelas (goal setting) bisa membantu mengubah pola pikir negatif menjadi lebih konstruktif. Ini sejalan dengan konsep self-efficacy dari psikolog Albert Bandura—yakni, keyakinan terhadap kemampuan diri sendiri untuk mencapai tujuan memainkan peran penting dalam menentukan seberapa besar seseorang mau berusaha.
Sisi Lain Manifesting: Waspadai Ilusi Kontrol
Namun, tidak semua efek manifesting bersifat positif. Meity memperingatkan bahwa terlalu menggantungkan diri pada manifesting, tanpa diiringi langkah nyata, bisa menimbulkan ilusi kontrol—yakni perasaan seolah-olah kita mengendalikan hasil sepenuhnya hanya dengan pikiran.
“Saat seseorang terlalu fokus pada visualisasi dan mengabaikan realita, mereka bisa merasa gagal saat kenyataan tidak sesuai harapan. Ini bisa memicu frustrasi, penurunan harga diri, bahkan depresi,” ujar Meity.
Selain itu, ada kecenderungan untuk menyalahkan diri sendiri atas kegagalan, padahal banyak faktor eksternal yang juga memengaruhi hasil hidup.
Tips Manifesting Sehat dan Bertanggung Jawab
Agar manifesting tidak menjadi jebakan psikologis, Meity menyarankan beberapa langkah berikut:
- Tetapkan tujuan yang spesifik dan realistis
Alih-alih “ingin kaya”, lebih baik tuliskan “menabung Rp10 juta dalam 6 bulan”. - Gabungkan afirmasi dan visualisasi dengan rencana nyata
Visualisasi bisa memotivasi, tetapi perlu dilengkapi dengan strategi dan aksi. - Evaluasi progres secara rutin
Pantau perkembangan dan sesuaikan strategi bila perlu. - Kelola ekspektasi dan latih fleksibilitas
Tidak semua berjalan sesuai rencana. Belajar menerima hasil yang berbeda adalah bagian dari proses. - Jangan gunakan manifesting untuk lari dari kenyataan
Manifesting bukan alat untuk menyangkal realita, tetapi untuk membantu kita menavigasinya dengan lebih positif dan terarah.
Kesimpulan: Mimpi Tak Akan Berarti Tanpa Langkah Nyata
Manifesting bisa menjadi alat bantu yang kuat dalam membangun motivasi, arah hidup, dan keyakinan diri—selama dilakukan secara sadar, realistis, dan bertanggung jawab. Tanpa tindakan nyata, semua afirmasi dan visualisasi hanya akan menjadi angan-angan kosong.
Layaknya mimpi, manifestasi hanya akan bermakna jika kita siap melangkah, berjuang, dan menghadapi kenyataan. Jadi, apakah manifesting membuat mimpi jadi nyata? Jawabannya: iya, jika kamu juga bergerak. (thw)