KUBUS.ID – Fenomena fatherless kini menjadi sorotan serius di Indonesia. Ketiadaan sosok ayah dalam kehidupan anak, baik secara fisik maupun emosional, ternyata tidak hanya disebabkan oleh konflik rumah tangga atau perceraian, tetapi juga oleh faktor ekonomi, terutama keterbatasan lapangan kerja.
Temuan terbaru Harian Kompas mengungkap bahwa di banyak daerah di Indonesia, sulitnya mencari pekerjaan memaksa para ayah meninggalkan rumah untuk merantau. Akibatnya, jutaan anak tumbuh dengan figur ayah yang jarang hadir, bahkan hampir tak pernah berinteraksi secara langsung.
Apa Itu Fatherless?
Istilah fatherless mengacu pada kondisi ketika seorang anak kehilangan kehadiran ayahnya, baik secara fisik (karena perceraian, kematian, atau merantau) maupun secara emosional (ayah hadir secara fisik, tetapi tidak terlibat dalam kehidupan anak).
Menurut para psikolog, kehadiran ayah berperan penting dalam pembentukan karakter, rasa percaya diri, serta stabilitas emosional anak. Anak yang tumbuh tanpa figur ayah berisiko lebih tinggi mengalami kesulitan sosial, gangguan perilaku, hingga masalah dalam membangun hubungan interpersonal di masa depan.
Sayangnya, di Indonesia, fenomena ini semakin meluas dan memiliki akar yang kompleks, salah satunya adalah masalah ekonomi dan ketimpangan kesempatan kerja antarwilayah.
Lapangan Kerja yang Minim, Ayah Terpaksa Merantau
Dalam laporan lapangan yang dilakukan tim Harian Kompas, sebanyak 16 psikolog klinis dari berbagai daerah diwawancarai untuk memetakan hubungan antara fenomena fatherless dan kondisi ketenagakerjaan.
Hasil wawancara kemudian dikaitkan dengan data penyediaan lapangan kerja di 38 provinsi Indonesia.
Temuannya mencengangkan: provinsi dengan lapangan kerja yang terbatas cenderung memiliki tingkat risiko fatherless yang lebih tinggi.
Minimnya peluang kerja di daerah membuat banyak laki-laki terpaksa meninggalkan keluarga untuk mencari nafkah ke kota besar atau bahkan ke luar negeri sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI).
Seorang psikolog dari Jawa Tengah, yang terlibat dalam penelitian, mengungkapkan bahwa kepergian ayah untuk bekerja kerap membawa dampak jangka panjang bagi anak.
Meski kepergian ayah bertujuan mulia, demi kesejahteraan keluarga, namun secara psikologis, kehadiran yang terputus dapat menimbulkan kekosongan emosional pada anak.
Hubungan Antara Fatherless dan Kemiskinan
Menariknya, data menunjukkan fenomena fatherless tidak hanya terjadi di provinsi dengan tingkat kemiskinan tinggi.
Menurut Krisna, anggota tim riset Kompas, daerah dengan tingkat kemiskinan rendah justru memiliki angka fatherless yang cukup tinggi. Alasannya, di wilayah tersebut, banyak laki-laki bekerja di sektor formal dengan jam kerja panjang dan tuntutan tinggi.
Sebaliknya, di wilayah dengan tingkat kemiskinan tinggi, sebagian ayah yang tidak memiliki kesempatan kerja formal akhirnya bekerja di sektor informal. Jenis pekerjaan ini memiliki jam kerja tidak menentu dan cenderung tidak stabil.
Mereka mungkin memiliki lebih banyak waktu di rumah, tetapi kondisi ekonomi yang sulit sering membuat mereka stres dan mudah kehilangan kendali dalam hubungan keluarga.
Data: 15,9 Juta Anak Indonesia Berpotensi Tumbuh Tanpa Ayah
Berdasarkan olahan Tim Jurnalisme Data Harian Kompas menggunakan data Mikro Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik per Maret 2024, diperkirakan 20,1 persen atau sekitar 15,9 juta anak Indonesia berpotensi tumbuh tanpa kehadiran ayah secara utuh.
Rinciannya:
- 4,4 juta anak tinggal di keluarga tanpa ayah sama sekali, baik karena perceraian, kematian, atau pekerjaan ayah di luar negeri.
- 11,5 juta anak hidup bersama ayah yang bekerja lebih dari 60 jam per minggu, atau sekitar 12 jam per hari selama lima hari kerja.
Artinya, lebih dari dua pertiga anak dalam kelompok ini sebenarnya masih memiliki ayah, namun kehilangan interaksi dan kedekatan emosional akibat beban kerja yang terlalu berat.
Dampak Psikologis dan Sosial
Ketiadaan figur ayah berpengaruh besar terhadap perkembangan anak. Psikolog keluarga menilai, fatherless dapat menimbulkan efek domino yang memengaruhi banyak aspek kehidupan anak—mulai dari perilaku, prestasi belajar, hingga kemampuan bersosialisasi.
Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa anak-anak fatherless cenderung memiliki tingkat kepercayaan diri lebih rendah dan lebih rentan terhadap stres serta perilaku berisiko. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat menciptakan siklus sosial baru: generasi yang tumbuh tanpa figur ayah mungkin mengalami kesulitan dalam membangun peran ayah ketika dewasa kelak.
Tantangan Pemerintah dan Solusi yang Diperlukan
Fenomena ini menunjukkan bahwa isu fatherless bukan hanya persoalan keluarga, tetapi juga cerminan dari masalah struktural ekonomi dan ketenagakerjaan di Indonesia.
Pemerintah didorong untuk memperluas lapangan kerja di daerah agar para ayah tidak perlu meninggalkan keluarga dalam waktu lama demi mencari penghidupan.
Selain itu, kebijakan ketenagakerjaan yang lebih ramah keluarga, seperti pengaturan jam kerja yang lebih seimbang dan dukungan cuti ayah, dapat menjadi langkah penting dalam menjaga kualitas hubungan antara orang tua dan anak.
Pendidikan bagi orang tua pun diperlukan agar mereka memahami pentingnya keterlibatan emosional dalam pengasuhan anak, tidak hanya tanggung jawab finansial semata.
Fenomena fatherless di Indonesia menjadi cermin bahwa kesejahteraan keluarga tidak hanya diukur dari pendapatan, tetapi juga dari kehadiran. Ketika ayah terlalu sibuk mengejar penghidupan, anak bisa kehilangan sesuatu yang jauh lebih penting: kehangatan, bimbingan, dan kasih sayang seorang ayah.
Pekerjaan mungkin bisa menjamin masa depan ekonomi keluarga, tetapi kehadiran ayah, secara fisik dan emosional, adalah pondasi utama bagi masa depan anak.
Source: kompas.com






























