KUBUS.ID – Pengamat properti AS Property Advisory, Anton Sitorus, mengatakan pemerintah perlu mengkaji lebih dalam wacana potong upah pekerja swasta untuk Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera. Ia mengatakan, urusan perumahan bukan perkara sederhana sehingga butuh perhitungan matang.
Menurut Anton, untuk mendukung pembiayaan pengadaan rumah bagi masyarakat, pemerintah tak cukup hanya memberlakukan kebijakan potong upah pekerja lewat regulasi. Pemerintah harus bisa memastikan iuran yang dikumpulkan pekerja melalui Tepera benar-benar bisa dimanfaatkan untuk membeli hunian. “Ini tabungan yang ‘dipaksakan’ untuk rumah. Dengan uang segitu, apa nanti dapat rumah?” kata Anton, Selasa, 28 Mei 2024.
“Masyarakat butuh kepastian. Jangan sampai hal-hal seperti ini tujuannya cuma buat pengumpulan dana masyarakat,” tambah Anton.
Kebijakan pemotongan gaji pekerja swasta sebesar 3 persen untuk Tapera diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tapera yang diteken Presiden Jokowi pada 20 Mei lalu. Beleid ini merupakan revisi PP Nomor 25 Tahun 2020. Dalam aturan sebelumnya, pekerja swasta wajib ikut Tapera maksimal tujuh tahun semenjak peraturan berlaku.
Kebijakan tersebut menuai penolakan dari kalangan buruh. Selain karena menilai iuran Tapera akan menjadi beban, buruh meragukan manfaat yang bisa diklaim dari tabungan ini. Meskipun, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengatakan iuran ini akan bermanfaat karena bisa membantu pekerja memiliki rumah.
Penolakan ini salah satunya disampaikan pekerja di Kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) yang tergabung dalam Serikat Buruh Industri Pertambangan atau SBIPE IMIP. Ketua SBIPE IMIP Henry Foord Jebss tidak yakin iuran yang masuk untuk Tapera bisa kembali ke kantong para pekerja. Ia berkaca pada sejumlah kasus sulitnya klaim manfaat iuran BPJS Ketenagakerjaan yang terjadi selama ini.
Henry pun menduga wacana pemotongan gaji pekerja swasta untuk Tapera hanya menjadi kedok pemerintah untuk mengumpulkan dana masyarakat. “Kami menduga ini cara pemerintah untuk menutup defisit APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara)” tutur Henry, Selasa malam, 28 Mei 2024. “Ini tidak ada manfaatnya untuk buruh.”
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirah juga menilai kebijakan Tapera untuk pekerja swasta ini masih ngawang alias belum jelas. Dalam penyusunan regulasinya pun, kata dia, pemerintah tidak melibatkan pekerja. Karena itu, ia tidak yakin pekerja bisa benar-benar bisa mendapatkan rumah setelah menyetor iuran. “Tapera ini seperti apa bentuknya, bagaimana proses klaimnya? Harusnya buruh dilibatkan (dalam penyusunan regulasinya)” tutur Mirah, Selasa, 28 Mei 2024.
Senada dengan Henry, Mirah khawatir kebijakan potong gaji untuk Tapera manfaatnya tidak bisa benar-benar dirasakan. “Ketika pekerja peserta BPJS Ketenagakerjaan meninggal, PHK, dan tidak bisa klaim, uangnya ke mana? Itu kan jadi uang tak bertuan,” kata dia.(adr)
Copy: tempo.co