Beranda Gaya Hidup Burnout di Usia Muda Bukan Fenomena Baru, Gen Milenial pun Pernah Mengalaminya

Burnout di Usia Muda Bukan Fenomena Baru, Gen Milenial pun Pernah Mengalaminya

1217

KUBUS.ID – Belakangan ini, generasi Z atau Gen Z kerap menjadi sorotan karena banyak dari mereka yang mengaku sudah merasa tua, lelah, dan kehilangan arah meski baru menginjak usia 20-an. Ungkapan seperti “ingin pensiun dini”, “sudah burnout di awal karier”, atau “mental capek terus” sering muncul di media sosial, menjadi bagian dari keseharian digital anak-anak muda kelahiran 1997–2012 ini.

Namun, benarkah kondisi ini hanya terjadi pada Gen Z? Psikolog Klinis Reti Oktania, M.Psi., Psikolog menyebutkan bahwa fenomena burnout di usia muda bukan hal yang eksklusif bagi Gen Z. Generasi sebelumnya, yakni Gen Milenial (lahir 1981–1996), juga mengalami hal serupa ketika mereka berada di fase usia yang sama.

“Bedanya, generasi Milenial dulu tidak punya ruang sebanyak sekarang untuk membicarakan kondisi mental mereka secara terbuka,” ujar Reti.

Tekanan Ada, Tapi Dulu Tak Banyak Ruang Bicara

Di masa Milenial muda, wacana tentang kesehatan mental belum seumum sekarang. Ungkapan seperti “burnout”, “quarter-life crisis”, atau bahkan “insecure” belum sering terdengar di ruang publik. Padahal, tekanan hidup tetap ada. Mulai dari tuntutan untuk segera mapan, krisis identitas, hingga kebingungan memilih arah karier. Semua itu dialami oleh para Milenial, meski mungkin tidak terekam secara masif seperti halnya sekarang.

“Zaman dulu belum ada media sosial yang bisa jadi tempat curhat sekaligus mendapat validasi. Milenial banyak memendam atau mencari cara masing-masing untuk bertahan,” tambah Reti.

Media Sosial: Ruang Ekspresi Sekaligus Sumber Tekanan Baru

Menurut Reti, kehadiran media sosial menjadi perbedaan mencolok antara Gen Z dan Milenial. Di satu sisi, platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter memberi ruang bagi Gen Z untuk mengekspresikan kelelahan mental dan mencari dukungan komunitas. Namun di sisi lain, media sosial juga menambah tekanan tersendiri.

“Gen Z hidup di dunia yang selalu membandingkan. Ada tuntutan tidak tertulis untuk selalu terlihat sukses, produktif, dan bahagia. Ini yang bikin tekanan jadi lebih intens,” jelasnya.

Sementara itu, Milenial muda tumbuh dalam masa transisi digital. Mereka menghadapi tuntutan hidup dari keluarga dan lingkungan secara langsung, tanpa tekanan visual dari media sosial yang masif seperti sekarang.

Setiap Generasi Punya Luka dan Pelajaran Sendiri

Reti menekankan bahwa setiap generasi menghadapi tantangan yang berbeda sesuai dengan konteks zamannya. “Yang penting bukan siapa yang lebih berat, tapi bagaimana masing-masing generasi bisa belajar dari pengalaman dan tidak saling menyalahkan.”

Ia menilai, narasi soal burnout, stres kerja, atau quarter-life crisis yang kini mulai terbuka justru memberi ruang yang lebih sehat bagi generasi muda untuk menyadari kondisi emosional mereka. Kesadaran ini penting sebagai langkah awal mencari pertolongan dan merawat kesehatan mental secara jangka panjang.

“Semakin banyak ruang terbuka untuk bicara, semakin besar pula kesempatan kita untuk membentuk generasi yang lebih tangguh, sadar diri, dan saling mendukung,” tutup Reti. (thw)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini