
KEDIRI, (KUBUS.ID) – Kasus bencana ekologis yang kembali melanda sejumlah wilayah di Sumatera disebut sebagai akibat dari akumulasi kerusakan hutan yang terjadi selama bertahun-tahun.
Direktur Eksekutif Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Mangkubumi, Muhammad Ichwan Mushofa, menilai bahwa deforestasi semakin tak terkendali seiring melonggarnya aturan perizinan di berbagai daerah.
Menurut Ichwan, tiga wilayah di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara mengalami percepatan deforestasi setelah keran investasi dibuka lebar melalui pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja.
“Sejak Ciptaker disahkan, pembukaan lahan besar-besaran untuk investasi semakin masif,” katanya saat mengudara di Radio ANDIKA Kediri pada Kamis, (04/12)
Ia menjelaskan bahwa berdasarkan data yang dihimpun pihaknya, telah terjadi ledakan industri ekstraktif di kawasan hulu. Banyak perusahaan beroperasi di area yang sebelumnya merupakan hutan lindung maupun hutan produksi terbatas. Kondisi ini kemudian memperburuk daya dukung lingkungan dan memicu bencana seperti banjir bandang serta longsor.
Di sisi lain, warganet disebut mulai menunjukkan kejelian ketika menanggapi maraknya potongan video dan foto terkait kerusakan hutan yang beredar di media sosial. Ichwan menyebut bahwa meskipun terdapat berbagai bentuk pembingkaian informasi dari pejabat yang menyebut itu kayu lapuk yang terbawa banjir. Fakta di lapangan mayoritas potongan kayu di lokasi bencana menunjukkan pola tebang yang rapi—indikasi kuat adanya aktivitas pembalakan terstruktur.
“Pemerintah sebenarnya bisa menelusuri asal kayu melalui DNA kayu untuk mengetahui lokasi tebang dan usia pohon tersebut,” jelasnya.
Ketidaksinkronan data kerusakan hutan juga menjadi sorotan. Ichwan mencontohkan bahwa pada 2024, pemerintah mencatat sekitar 200 ribu hektare hutan rusak, sementara Global Forest Watch melaporkan angka mencapai 300 ribu hektare.
“Ada perbedaan yang signifikan. Namun pada intinya, kerusakan hutan berkaitan erat dengan kepentingan investasi dan penanaman komoditas ekstraktif,” ujarnya.
Ia menilai kebijakan penegakan hukum yang longgar semakin memperburuk situasi. Sejak diterapkannya aturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja, pelanggaran pembukaan lahan banyak diselesaikan secara administratif tanpa proses pidana.
“Hukuman pembukaan lahan sekarang hanya ultimum remedium, lebih banyak administratif dibandingkan pidana,” kata Ichwan.
Ichwan berharap pemerintah meninjau kembali regulasi perizinan, memperketat pengawasan, serta memperkuat penegakan hukum agar kerusakan hutan tidak semakin meluas. (far)
































