Oleh: DR. Yudi Krisno Wicaksono, M. IP.
KUBUS.ID – Program MBG bertujuan memenuhi kebutuhan gizi siswa dengan porsi yang ditakar AKG, sehingga mencerminkan komitmen kebijakan publik untuk mendukung kesejahteraan masyarakat. Dalam kerangka konsep kebijakan publik, MBG dirancang untuk mencapai kebaikan bersama melalui penyediaan makanan bergizi bagi anak sekolah. Namun, keberhasilan program ini tidak hanya bergantung pada aspek teknis seperti AKG, tetapi juga pada penerimaan publik yang dipengaruhi oleh proses politik, sebagaimana dijelaskan oleh David Easton dalam model sistem politiknya. Tantangan muncul ketika kebijakan berisiko menjadi pseudo policy, yaitu kebijakan yang tampak baik di permukaan tetapi belum memenuhi ekspektasi masyarakat karena pelaksanaan yang kurang diterima baik publik dan hanya secara prosedural untuk penyerapan anggaran.
Dalam model Easton, kebijakan publik adalah hasil dari input (tuntutan dan dukungan masyarakat), proses (pengolahan dalam sistem politik), dan output (kebijakan atau tindakan pemerintah). Asas kepantasan menjadi elemen kunci dalam output MBG. Wadah besar yang diisi porsi makanan kecil menciptakan kesan tidak proporsional, sehingga dianggap kurang pantas oleh masyarakat. Ketidaksesuaian ini dapat membuat MBG terlihat sebagai pseudo policy, di mana tujuan mulia tidak tercermin dalam pelaksanaan yang estetis dan memadai. Estetika penyajian bukan sekadar aspek visual, tetapi juga bagian dari legitimasi kebijakan yang memengaruhi penerimaan publik.
Estetika penyajian makanan dalam MBG memainkan peran penting dalam membentuk persepsi masyarakat. Porsi yang tidak seimbang dengan wadahnya dapat memicu ketidakpuasan, yang menjadi input berupa keluhan atau kritik. Kritik ini harus dianggap sebagai masukan konstruktif untuk memperbaiki penyajian, memastikan makanan tidak hanya bergizi tetapi juga menarik dan sesuai ekspektasi penerima manfaat. Dengan memperhatikan estetika, pengelola MBG dapat menghindari persepsi bahwa program ini hanya simbolis atau pseudo policy, dan sebaliknya menunjukkan komitmen nyata terhadap kualitas.
Sebagai program yang dibiayai pajak rakyat, MBG memiliki tanggung jawab untuk menjaga akuntabilitas dan transparansi, yang merupakan bagian integral dari proses politik Easton. Hampir separuh Anggaran Pendidikan di APBN untik MBG. Dana publik menuntut pengelola untuk responsif terhadap input masyarakat, seperti kritik terhadap kualitas atau penyajian makanan. Sikap alergi terhadap masukan dapat memperkuat persepsi pseudo policy, di mana program tampak baik di atas kertas tetapi gagal memenuhi harapan rakyat. Sebaliknya, keterbukaan terhadap kritik akan memperkuat kepercayaan publik, memastikan MBG dilihat sebagai kebijakan yang akuntabel dan berorientasi pada kebutuhan masyarakat.
Keluhan masyarakat, seperti masalah estetika atau kuantitas makanan, harus diproses sebagai input dalam sistem politik untuk menghasilkan output yang lebih baik. Bukan malah dituduh menyebarkan isu liar dsb. Dalam pendekatan Easton, pengelola MBG perlu mengolah masukan ini melalui evaluasi internal, seperti pemeriksaan rantai pasok atau metode penyajian, untuk meningkatkan kualitas program. Dengan memproses kritik secara konstruktif, MBG dapat menghindari jebakan pseudo policy dan menjadi kebijakan yang benar-benar memberikan manfaat nyata, baik dari segi gizi maupun kepuasan penerima manfaat.
Secara konseptual, MBG adalah kebijakan publik yang baik karena berfokus pada peningkatan gizi anak-anak sebagai investasi sumber daya manusia menuju Indonesia Emas 2045. Namun, keberhasilannya bergantung pada eksekusi yang memenuhi standar kepantasan dan menghindari persepsi sebagai pseudo policy. SPPG yang dikritik harus berbenah dengan mengevaluasi aspek-aspek yang memicu keluhan, seperti proporsi makanan atau kualitas bahan. Secara politik, proses ini mencerminkan siklus input-proses-output, di mana masukan masyarakat diolah untuk menghasilkan kebijakan yang lebih berkualitas dan diterima publik.
SPPG “Bener” di Purworejo, Jateng, bisa menjadi benchmark bagi pengelola MBG lainnya karena keberhasilannya menjaga kualitas makanan, keterbukaan melalui media sosial, dan responsivitas terhadap masukan masyarakat. Uniknya, SPPG “Bener” juga melibatkan siswa dalam memberikan masukan menu, yang meningkatkan keterlibatan penerima manfaat dan memperkuat penerimaan program. Dalam model Easton, praktik ini menghasilkan feedback positif yang memperkuat dukungan masyarakat. Dengan mengadopsi pendekatan serupa, SPPG lain dapat meningkatkan kualitas output kebijakan dan menghindari persepsi bahwa MBG hanya kebijakan simbolis.
SPPG “Bener” Purworejo juga menjadi role model bagi pengelolaan kebijakan yang amanah. Dengan menjaga kualitas makanan, melibatkan siswa dalam perencanaan menu, dan berkomunikasi secara transparan melalui media sosial, SPPG ini menunjukkan bagaimana kebijakan publik dapat dijalankan dengan integritas. Dalam sistem politik ini, role model memperkuat legitimasi MBG dengan menunjukkan bahwa kebijakan yang responsif terhadap input masyarakat, termasuk masukan dari siswa, dapat menghasilkan output yang memenuhi kebutuhan dan harapan publik.
Sikap terhadap kritik adalah inti dari keberhasilan MBG dalam kerangka proses politik Easton. Kritik masyarakat, termasuk masukan dari siswa, harus diolah melalui proses yang transparan untuk menghasilkan output berupa program yang lebih baik. Pengelola MBG tidak boleh menolak kritik, melainkan menggunakannya sebagai alat untuk memperbaiki penyajian dan kualitas, sehingga program ini tidak terjebak sebagai pseudo policy. Dengan pendekatan ini, MBG dapat menjadi kebijakan yang tidak hanya memenuhi kebutuhan gizi, tetapi juga mendapatkan dukungan luas dari masyarakat.
Secara keseluruhan, MBG memiliki potensi besar untuk mendukung kesejahteraan anak-anak Indonesia, tetapi keberhasilannya bergantung pada pelaksanaan yang memenuhi asas kepantasan, akuntabilitas, dan keterlibatan publik. Dengan memproses input masyarakat, termasuk masukan menu dari siswa seperti yang dilakukan SPPG “Bener” Purworejo, serta melakukan benchmarking ke SPPG sukses, MBG dapat menghasilkan output yang berkualitas. Proses ini memastikan dana pajak rakyat dimanfaatkan secara optimal untuk menciptakan kebijakan yang estetis, bergizi, dan diterima publik.
Dengan pendekatan yang responsif terhadap dinamika proses politik, MBG dapat terhindar dari jebakan pseudo policy dan menjadi contoh kebijakan publik yang efektif. Kritik dan masukan, termasuk dari siswa, yang diolah dengan baik akan menghasilkan program yang memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Dengan demikian, MBG dapat mencapai tujuannya sebagai kebijakan yang berorientasi pada kebaikan bersama, menunjukkan bahwa proses politik yang inklusif dan akuntabel adalah kunci keberhasilan kebijakan publik. * * *
Senin, 22 September 2025
*Penulis Adalah Dosen Ilmu Politik UIN SATU Tulungagung