KUBUS.ID – Perkembangan produk finansial digital terus melesat dan mengubah perilaku belanja masyarakat Indonesia, terutama Gen Z dan Milenial. Layanan buy now pay later (BNPL) kini tidak hanya ditawarkan perusahaan teknologi finansial, tetapi juga mulai diadopsi bank-bank besar untuk memanfaatkan tren konsumsi yang semakin mengutamakan kemudahan transaksi.
BNPL memungkinkan konsumen membeli barang atau jasa dan membayarnya di kemudian hari. Kemudahan inilah yang menjadikan layanan tersebut semakin populer. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat pertumbuhan BNPL mencapai 33,64% year-on-year, dengan nilai transaksi menembus Rp6,81 triliun.
Data ini menunjukkan bahwa BNPL telah menjadi salah satu solusi pembayaran favorit masyarakat. Menurut Databoks, 43,9% pengguna BNPL merupakan generasi milenial berusia 26–35 tahun, disusul Gen Z berusia 18–25 tahun sebesar 26,5%.
Namun di balik tren positif ini, muncul kekhawatiran baru terkait potensi jeratan utang. Survei Katadata Insight Center menunjukkan bahwa sekitar 70% pengguna paylater memakai layanan ini untuk kebutuhan non-esensial seperti fashion, gadget, kuliner, dan hiburan. Hanya 30% yang memanfaatkannya untuk kebutuhan primer seperti kesehatan dan pendidikan. Pola konsumsi ini dikhawatirkan memperbesar risiko pengguna terjebak cicilan yang menumpuk.
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen (PEPK) OJK, Friderica Widyasari Dewi, mengingatkan bahwa pinjaman paylater kini tercatat dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) atau OJK Checking. “Riwayat pembayaran cicilan paylater dapat memengaruhi riwayat kredit konsumen,” ujarnya.
Oleh karena itu, meskipun BNPL menghadirkan solusi praktis, pengguna harus tetap berhati-hati dan bertanggung jawab terhadap setiap kewajiban pembayaran. Tanpa pengelolaan yang bijak, layanan yang seharusnya mempermudah justru bisa berubah menjadi jerat utang yang memberatkan di kemudian hari.(adr)
































