Beranda Gaya Hidup Hati-Hati, Flexing di Media Sosial Bisa Jadi Tanda Kamu Butuh Bantuan Psikologis

Hati-Hati, Flexing di Media Sosial Bisa Jadi Tanda Kamu Butuh Bantuan Psikologis

3

KUBUS.ID – Media sosial telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari yang sulit dipisahkan. Di platform seperti Instagram, TikTok, atau Facebook, kita sering menjumpai orang yang membagikan pencapaian, barang-barang baru, gaya hidup mewah, hingga momen pribadi yang penuh kebahagiaan. Perilaku ini dikenal dengan istilah flexing.

Bagi sebagian orang, flexing dianggap hal yang wajar. Bahkan, ada yang menganggapnya sebagai motivasi untuk terus berkembang. Namun, di sisi lain, perilaku pamer ini tidak selalu sehat jika dilakukan berlebihan. Ada kalanya flexing menjadi sinyal bahwa seseorang sedang mencari validasi atau bahkan mengalami tekanan psikologis yang lebih dalam.

Psikolog Klinis Maria Fionna Callista menekankan, pada dasarnya flexing adalah bagian dari ekspresi manusia. “Selama dilakukan dalam batas wajar dan dengan kontrol diri yang baik, flexing tidak berbahaya,” jelasnya. Tetapi, masalah muncul ketika kebiasaan ini berubah menjadi kebutuhan konstan untuk diakui orang lain.

Dari Ekspresi Biasa Menjadi Kebutuhan Validasi

Flexing awalnya mungkin hanya dilakukan untuk berbagi rasa bangga. Misalnya, seseorang memamerkan sertifikat prestasi, liburan impian, atau barang baru hasil jerih payah sendiri. Namun, secara perlahan, ada orang yang merasa tidak tenang jika tidak mengunggah pencapaiannya.

Menurut Fionna, kondisi ini biasanya ditandai dengan:

  • Rasa gelisah atau tidak nyaman jika tidak mendapat perhatian.
  • Dorongan kuat untuk selalu mendapat komentar positif atau “likes”.
  • Perasaan rendah diri atau tidak berharga jika unggahan tidak ramai.

Inilah titik di mana flexing berubah dari sekadar ekspresi diri menjadi kebutuhan validasi yang berlebihan.

Gejala Awal Gangguan Psikologis

Jika kebiasaan ini terus berlanjut, flexing bisa menjadi pintu masuk gangguan psikologis. Rasa cemas yang muncul ketika tidak mendapat pengakuan dapat memengaruhi bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri.

Mereka bisa merasa tidak cukup baik tanpa apresiasi dari luar. Dalam jangka panjang, hal ini menimbulkan tekanan mental yang tidak ringan. Kondisi tersebut bisa berkembang menjadi:

  • Kecemasan sosial, karena selalu takut tidak dianggap cukup.
  • Rendahnya harga diri, yang sangat bergantung pada pendapat orang lain.
  • Ketidakpuasan kronis, meski sebenarnya sudah memiliki banyak pencapaian.

Lebih jauh lagi, flexing yang berlebihan bisa merusak cara seseorang membangun identitas diri. Mereka mungkin lebih sibuk membentuk citra di media sosial ketimbang menerima diri apa adanya.

Dampak terhadap Lingkungan Sosial

Flexing bukan hanya berdampak pada individu, tetapi juga lingkungan sosial di sekitarnya. Orang yang terlalu sibuk mencari validasi sering kali kesulitan menerima kritik atau merasa mudah tersinggung.

Akibatnya, orang lain bisa merasa risih, terganggu, bahkan menjauh. Hubungan sosial menjadi renggang karena flexing yang berlebihan dapat menciptakan jarak emosional. Alih-alih menginspirasi, flexing bisa menimbulkan rasa iri, ketidaknyamanan, bahkan konflik tersembunyi.

Jika orang-orang di sekitar sudah mulai menunjukkan reaksi negatif, itu bisa menjadi alarm bahwa perilaku flexing telah melewati batas wajar.

Mengapa Flexing Bisa Menjadi Masalah?

Fenomena flexing tidak bisa dilepaskan dari sifat dasar manusia yang ingin diterima dan dihargai. Media sosial memperbesar kebutuhan tersebut karena setiap unggahan langsung mendapat respons berupa komentar, likes, atau views.

Sayangnya, sistem ini bisa membuat seseorang ketagihan validasi. Setiap kali mendapat pujian, otak melepaskan dopamin yang memberi rasa senang. Namun, ketika respons berkurang, muncul rasa kecewa dan gelisah. Lama-kelamaan, siklus ini bisa membuat seseorang terjebak dalam lingkaran tidak sehat.

Pentingnya Kesadaran Diri

Meski begitu, Fionna menekankan bahwa tidak semua flexing adalah tanda gangguan psikologis. Sesekali berbagi pencapaian sah-sah saja, asalkan masih bisa dikendalikan.

Langkah utama yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kesadaran diri. Seseorang perlu jujur menilai apakah flexing yang dilakukan:

  • Masih dalam batas ekspresi diri.
  • Sudah menjadi kebutuhan konstan demi validasi.
  • Menimbulkan dampak negatif pada diri maupun lingkungan sekitar.

Kesadaran diri membantu seseorang menarik garis batas. Dengan begitu, flexing tidak berkembang menjadi masalah yang lebih serius.

Bagaimana Mengendalikan Perilaku Flexing?

Ada beberapa cara praktis yang bisa membantu seseorang agar tidak terjebak dalam flexing berlebihan:

  1. Evaluasi motivasi pribadi – Tanyakan pada diri sendiri: apakah postingan ini untuk berbagi kebahagiaan, atau hanya demi mendapat perhatian?
  2. Kurangi waktu di media sosial – Batasi screen time agar tidak terlalu terikat pada respons orang lain.
  3. Fokus pada prestasi nyata – Hargai diri bukan dari likes, tapi dari usaha dan pencapaian yang benar-benar bermakna.
  4. Bangun hubungan sehat – Perkuat interaksi dengan orang-orang terdekat secara nyata, bukan hanya di dunia maya.
  5. Jangan ragu minta bantuan profesional – Jika merasa cemas berlebihan atau harga diri sangat tergantung pada pengakuan online, konsultasi ke psikolog bisa menjadi langkah tepat.

Flexing di media sosial memang tidak selalu salah. Dalam kadar tertentu, flexing bisa menjadi cara untuk menunjukkan rasa syukur dan kebanggaan diri. Namun, jika dilakukan tanpa kendali hingga menjadi satu-satunya sumber rasa berharga, flexing justru dapat berisiko menimbulkan gangguan psikologis.

Dengan kesadaran diri, pengendalian emosi, dan fokus pada nilai diri yang lebih dalam, seseorang dapat tetap menikmati media sosial tanpa harus terjebak dalam jeratan validasi. Pada akhirnya, nilai diri sejati bukan ditentukan oleh berapa banyak likes yang didapat, melainkan oleh bagaimana kita menerima diri sendiri dan membangun relasi yang sehat dengan orang lain.

Source: kompas.com

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini