KUBUS.ID – Kondisi jalan berlubang dan rusak masih menjadi keluhan utama masyarakat di berbagai wilayah. Meskipun setiap tahun pemerintah daerah mengalokasikan anggaran untuk infrastruktur, fakta di lapangan menunjukkan banyak ruas jalan belum tertangani dengan baik. Pengamat kebijakan publik Caesar Demas Edwinarta, S.IP., M.IP. menilai persoalan tersebut mencerminkan lemahnya perencanaan dalam tahapan formulasi kebijakan di tingkat daerah.
Menurut Caesar, kebijakan publik sejatinya merupakan upaya pemerintah untuk menanggapi persoalan masyarakat. Ia mengutip pandangan Thomas R. Dye yang menyatakan bahwa “kebijakan publik adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah untuk menyikapi sesuatu.” Dengan kata lain, lanjutnya, keputusan untuk bertindak maupun tidak bertindak sama-sama mencerminkan bentuk kebijakan.
“Kalau kita bicara jalan rusak, ini bukan hanya masalah pelaksanaan di lapangan, tapi lebih kepada bagaimana kebijakan perbaikan jalan itu direncanakan dan diformulasikan,” ujarnya.
Caesar menjelaskan, dalam proses kebijakan publik terdapat tiga tahapan utama: formulasi, implementasi, dan evaluasi. Namun, tahapan formulasi sering kali kurang mendapat perhatian. “Kebijakan yang baik hanya akan berjalan baik jika direncanakan dan dikonsep dengan baik sejak awal,” tambahnya.
Dalam konteks otonomi daerah, setiap pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk merumuskan kebijakan sendiri, termasuk dalam pembangunan infrastruktur. Namun Caesar menilai, tidak semua daerah memiliki kapasitas perencanaan yang matang. “Kadang ada pemerintah daerah yang merumuskan kebijakan sepihak tanpa melibatkan akademisi atau pakar terkait. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan sering tidak tepat guna,” katanya.
Ia mencontohkan, salah satu kesalahan umum adalah penentuan waktu pelaksanaan proyek perbaikan jalan yang dilakukan pada akhir tahun, ketika musim hujan tiba. Kondisi ini menyebabkan pekerjaan tidak maksimal dan jalan cepat rusak kembali. “Harusnya kegiatan perbaikan jalan dilakukan di musim kemarau agar hasilnya lebih optimal. Semua kembali pada political will pemerintah daerah untuk merencanakan dengan benar,” tegas Caesar.
Lebih lanjut, Caesar menilai evaluasi kebijakan di daerah juga belum menyentuh aspek substansi. “Selama ini evaluasi lebih banyak pada sektor penganggaran, bukan pada fungsi kebijakannya. Jadi hanya dilihat dari serapan dana, bukan dari sejauh mana kebijakan itu efektif memperbaiki masalah di lapangan,” jelasnya.
Ia berharap, pemerintah daerah lebih memperkuat tahap formulasi kebijakan dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk akademisi dan masyarakat. “Jika perencanaannya matang dan berorientasi pada kebutuhan publik, maka kebijakan pembangunan—termasuk perbaikan jalan—akan lebih tepat sasaran dan berkelanjutan,” pungkas Caesar. (nhd)

































