Jakarta, (KUBUS.ID) – Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah menyoroti lemahnya keamanan ruang bermain dan lingkungan publik bagi anak setelah menemukan 138 kasus anak hilang dalam tiga tahun terakhir. Ia menegaskan bahwa angka tersebut hanya bersumber dari laporan masyarakat yang diterima KPAI, sehingga jumlah kasus di lapangan diyakini jauh lebih besar.
“Selama tiga tahun terakhir, KPAI menemukan ada 138 kasus yang kami peroleh dari laporan masyarakat, tapi saya yakin di lapangan jauh lebih tinggi. Misalnya, kasus Alvaro Kiano Nugroho yang saat ini menarik perhatian publik,” katanya saat mengudara di Radio ANDIKA Selasa, (25/11).
Ai menjelaskan bahwa pola kasus anak hilang menunjukkan tingginya kerentanan keamanan di ruang sosial. Ia mencontohkan kasus Alvaro, anak di Jakarta yang hilang selama delapan bulan setelah berangkat ke masjid dan tidak kembali.
“Dugaannya ada penculikan, mirisnya Alvaro ditemukan sudah tidak bernyawa,” katanya.
Menurutnya, persoalan hilangnya anak tidak bisa dilihat dari satu sisi. KPAI menekankan pentingnya realisasi ruang bermain ramah anak di setiap daerah sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2021 tentang Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA).
Ai menegaskan bahwa pemerintah pusat dan daerah memiliki kewajiban menghadirkan ruang bermain yang aman, zona aman sekolah, lingkungan ramah anak, serta pengasuhan alternatif yang mendukung keselamatan anak.
“Kebutuhan masyarakat untuk punya CCTV terutama di ruang bermain, itu dalam koordinasi pemerintah daerah, supaya anak ketika bermain memperoleh keselamatan,” ucapnya.
KPAI juga mendorong peningkatan kualitas penegakan hukum. Ai menilai proses daftar pencarian orang (DPO) untuk kasus anak sering terlambat padahal setiap jam sangat krusial.
“Saya melihat kalau belum seminggu, kalau belum tiga minggu belum DPO nih. Padahal kalau kasus anak, sangat mungkin kurang sehari saja itu ananda Bilqis sudah di hutan belantara mana,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa negara harus serius memperbaiki regulasi, SOP, hingga kesiagaan antarwilayah dalam menangani laporan anak hilang. Selain itu, penguatan kapasitas SDM juga dinilai penting, terutama dalam mendeteksi tanda-tanda penculikan di ruang publik.
“Seharusnya orang yang di ruang publik sudah terlatih. Jadi ketika melihat kalau anak dipindahtangankan secara paksa, ‘oh kondisi ini kelihatannya penculikan’ dan langsung bergegas menyelamatkan,” tuturnya.
Ai menambahkan pentingnya ketanggapan petugas lapangan untuk menjaga zona aman anak di sekolah, taman bermain, hingga rumah ibadah. Sebab kasus penculikan anak dewasa kini bak fenomena gunung es.
“Seharusnya ada petugasnya, petugas kebersihan yang terintegrasi dengan kewilayahan,” ujarnya. (far)

































