
KUBUS.ID – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menilai tingginya tingkat partisipasi pemilih di Indonesia belum tentu mencerminkan kualitas demokrasi yang membaik. Di balik antusiasme warga datang ke tempat pemungutan suara (TPS), dinilai ada persoalan serius: partisipasi yang tidak sepenuhnya dilandasi kesadaran politik, melainkan karena praktik politik uang.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar Baharuddin, dalam diskusi peluncuran Indeks Partisipasi Pilkada 2024 yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI di Hotel Pullman, Jakarta Barat, Sabtu (18/10), seperti dilansir Kumparan.
“Kecenderungan yang kami lihat di lapangan, kualitas partisipasi ini lebih mengarah pada partisipasi yang dimobilisasi, bukan partisipasi yang lahir dari kesadaran politik,” ujar Bahtiar.
“Artinya, banyak warga datang ke TPS bukan karena dorongan politik yang sehat, tetapi karena adanya politik uang,” lanjutnya.
Bahtiar menyebut temuan ini sebagai masalah yang harus mendapat perhatian serius. Berdasarkan riset terbaru, lebih dari 70 persen masyarakat Indonesia saat ini bersikap permisif terhadap praktik politik uang. Angka ini meningkat signifikan dibandingkan riset sebelumnya yang berada di kisaran 50 persen.
Menurutnya, kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari realitas sosial ekonomi masyarakat yang masih rentan. Ia mengutip data Bank Dunia (World Bank) yang menyebutkan sekitar 194,7 juta dari total 285 juta penduduk Indonesia masih tergolong miskin.
“Jadi, apa yang bisa kita harapkan dari warga yang menurut World Bank — bukan data BPS — sebanyak 194,7 juta di antaranya masih hidup dalam kemiskinan?” kata Bahtiar.
Ia menambahkan, kondisi pendidikan masyarakat juga turut memengaruhi kualitas partisipasi politik. Saat ini, hanya sekitar 6,8 hingga 7 persen penduduk Indonesia yang merupakan lulusan perguruan tinggi. Sementara lebih dari 65 persen hanya lulusan SMP, dan sekitar 24 persen bahkan putus sekolah.
Ketimpangan di sektor pendidikan dan ekonomi, menurut Bahtiar, menjadi salah satu penyebab maraknya praktik politik uang. Di sejumlah daerah, pilihan politik warga dapat dengan mudah dipengaruhi demi pemenuhan kebutuhan dasar.
Bahtiar juga menyoroti adanya paradoks dalam partisipasi politik masyarakat. Meski tingkat partisipasi saat pemilu tergolong tinggi, keterlibatan masyarakat dalam mengawasi jalannya pemerintahan justru masih rendah. (nhd)