Oleh: Jeannie Latumahina
KUBUS.ID – Setiap pemilu digelar, rakyat selalu diberi janji bahwa wajah baru di parlemen akan membawa harapan baru. Namun kenyataan yang berulang justru kekecewaan. Dari DPR hingga DPRD, publik disuguhi daftar panjang anggota dewan yang terjerat kasus korupsi, yang tak mampu berdiri tegak untuk membela kepentingan rakyat, atau yang sekedar hadir hanya sebagai perpanjangan tangan elite partai. Semua ini bukan sekadar kesalahan individu, melainkan persoalan sistemik. Dimana sebenarnya akar dari masalahnya ada pada Undang-Undang Partai Politik, yang seharusnya menjadi fondasi demokrasi, tetapi yang ada justru menyuburkan oligarki.
Inilah UU No. 2 Tahun 2011 yang mengatur bahwa rekrutmen calon anggota legislatif harus dilakukan secara demokratis. Namun makna demokratis di sini tidak pernah benar-benar dijalankan. Karena sama sekali tidak ada standar kompetensi, integritas, atau mekanisme uji publik. Maka akibatnya, isi dari daftar calon legislatif jelas lebih ditentukan oleh kedekatan dengan elite dan kemampuan finansial. Bukan karena visi, kapasitas, atau rekam jejak pengabdian. Dari pintu inilah kualitas mutu dari parlemen akhirnya runtuh serendah-rendahnya.
Ada pula kelemahan lain yang terletak pada proses kaderisasi. Memang ada kewajiban sistem kaderisasi dalam UU, tetapi lagi-lagi tanpa standar dan tanpa pengawasan, maka ini hanya menjadi syarat formalitas. Lihat begitu banyak partai tidak memiliki sekolah politik berkualitas yang berjenjang dan berkelanjutan. Padahal di negara maju, namanya lembaga pendidikan politik partai justru harus menjadi kawah candradimuka yang menyiapkan calon pemimpin bangsa. Namun di Indonesia, adanya malah gerombolan politisi instan yang muncul mendadak menjelang pemilu yang jauh malah lebih mudah naik, sementara kader internal yang telah ditempa bertahun-tahun sering terpinggirkan.
Demikian juga persoalan keuangan partai semakin dalam memperparah situasi. UU membuka ruang sumbangan individu hingga satu miliar rupiah per tahun, dan dari korporasi hingga tujuh setengah miliar. Dengan angka sebesar ini membuat partai menjadi sangat rentan dikuasai oleh pemodal besar. Walau memang ada kewajiban audit, membuat laporan keuangan partai jarang yang benar-benar terbuka bagi publik. Transparansi sekarang berhenti di meja birokrasi, bukan di ruang publik yang berhak tahu siapa sesungguhnya penyandang dana partai. Dari sinilah aroma kuat oligarki makin menyesakkan demokrasi kita.
Lebih lanjut lagi demokrasi pada internal partai juga lebih banyak berhenti pada retorika belaka. Dan ketika sengketa internal diserahkan ke mahkamah partai, tetapi malah lembaga ini hampir selalu dikendalikan elite. Hal yang sama mengenai regenerasi kepemimpinan pun tersumbat, karena keputusan strategis terpusat di lingkaran sempit. Maka tidak jarang partai tampak lebih mirip seperti perusahaan keluarga ketimbang organisasi demokratis. Sanksi yang diatur dalam UU pun tidak punya daya gigit, sebatas pada teguran administratif, penghentian bantuan dana, tanpa instrumen tegas yang bisa memaksa partai untuk berubah.
Semua kelemahan itu kini meledak di ruang publik. Gelombang aksi massa yang merebak di berbagai kota adalah puncak segala kemarahan rakyat terhadap parlemen yang dianggap makin jauh dari aspirasi. Ironinya, saat rakyat harus menerima kenyataan bahwa tarif pajak dinaikkan berkali lipat, sebaliknya para anggota parlemen justru mendapat kenaikan tunjangan. Pada saat rakyat sedang menjerit karena harga-harga melambung, mereka malah makin berpesta, berjoget ria di gedung parlemen, seakan tidak peduli pada luka sosial yang sedang mendidih. Potret ini dengan sangat telanjang telah menunjukkan betapa dalam jurang yang memisahkan wakil rakyat dengan rakyat yang mereka wakili.
Kasus demi kasus malah makin mempertebal rasa muak itu. Anggota DPR yang tersandung gratifikasi proyek, anggota DPRD yang ditangkap karena suap APBD, hingga DPR pusat yang terburu-buru membahas RUU kontroversial tanpa mendengar suara rakyat. Ketahuilah semua ini menjadi bahan bakar kemarahan publik yang akhirnya meluap ke jalanan. Rakyat makin tidak lagi percaya bahwa parlemen, memang bekerja untuk mereka.
Pandangan kontras dengan negara lain sangat mencolok. Di Jerman, calon legislatif harus dipilih melalui mekanisme internal terbuka yang diawasi publik. Di Inggris, Electoral Commission mewajibkan seluruh donasi partai diumumkan secara detail dan melarang dana asing maupun anonim. Di Amerika Serikat, mekanisme primary election memungkinkan kepada publik untuk ikut menentukan calon, sehingga tidak bisa lagi ditentukan segelintir elite. Bandingkan dengan Indonesia, di mana rakyat hanya bisa memilih dari daftar nama dan foto yang sudah disodorkan pusat.
Revisi UU Partai Politik karena itu bukan lagi kebutuhan teknis, tetapi tuntutan demokrasi. Sehingga rekrutmen caleg harus transparan dengan uji publik dan tolok ukur integritas. Kaderisasi harus diwujudkan melalui sekolah politik resmi yang harus diawasi independen. Dana partai wajib transparan penuh dengan publikasi real-time, sementara sumbangan dari individu maupun korporasi perlu dibatasi ketat.
Demokrasi internal harus nyata, dengan pemilihan caleg melalui suara anggota partai di daerah, bukan hanya keputusan pusat. Dan yang paling penting, sanksi bagi partai yang melanggar harus tegas: mulai dari penghentian bantuan negara hingga diskualifikasi dari pemilu.
Inilah saatnya rakyat tidak hanya bisa marah, tetapi juga bertindak. Perubahan UU Partai Politik adalah keharusan, bukan pilihan. Masyarakat harus mendesak, mengawasi, dan memastikan DPR tidak lagi bermain-main dengan aturan yang menentukan masa depan demokrasi kita. Jangan biarkan lagi undang-undang ini ditulis untuk kepentingan elite. Ia harus ditulis ulang untuk rakyat. Jika rakyat diam, partai akan terus menjadi milik segelintir orang. Tetapi jika rakyat bersuara lantang, mengawasi setiap proses, dan menuntut transparansi, maka jalan perubahan bisa terbuka.
Sejarah demokrasi di banyak negara menunjukkan bahwa perbaikan besar hanya lahir ketika rakyat memaksa. Indonesia pun tidak berbeda. Gelombang aksi massa hari ini adalah tanda bahwa rakyat sudah tidak bisa lagi ditipu dengan retorika kosong. Maka jangan biarkan energi itu padam. Saatnya untuk mengubah kemarahan menjadi gerakan yang mengawal perubahan UU Partai Politik hingga tuntas. Hanya dengan cara itu, kita bisa berharap lahir parlemen yang benar-benar menjadi suara rakyat, bukan sekadar boneka oligarki.
Kamis, 4 September 2025
*Penulis adalah Ketua Umum Relawan Perempuan dan Anak (RPA) Indonesia