Oleh: Adnan Tulus Raharjo
KUBUS.ID – Penerimaan negara, terutama dari sektor perpajakan, merupakan urat nadi bagi pembangunan nasional. Dalam beberapa dekade terakhir, penerimaan pajak menjadi sumber utama pembiayaan belanja negara, mulai dari infrastruktur, pendidikan, hingga bantuan sosial. Tetapi di tengah perubahan zaman yang kian cepat, Indonesia dihadapkan pada tantangan dan peluang baru yang datang seiring dengan digitalisasi ekonomi. Pertanyaannya, siapkah sistem perpajakan kita menghadapi era digital ini?
Digitalisasi ekonomi telah mengubah hampir seluruh aspek kehidupan. Cara kita bekerja, berbelanja, bahkan menghasilkan uang, kini jauh berbeda dibanding sepuluh tahun lalu. Munculnya platform digital, e-commerce, konten kreator, fintech, hingga ekonomi berbasis aplikasi telah menciptakan ekosistem ekonomi baru yang sulit dilacak oleh sistem perpajakan konvensional. Pendapatan bisa datang dari mana saja. Misalnya YouTube, FB Pro, TikTok, dropshipping, hingga kripto. Dan tidak semuanya tercatat secara jelas dalam sistem.
Di satu sisi, ini menjadi tantangan serius bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) RI. Banyak potensi pajak yang hilang karena tidak terjangkau atau belum teridentifikasi. Bahkan, sebagian pelaku ekonomi digital mungkin belum menyadari bahwa penghasilan dari aktivitas digital juga merupakan objek pajak. Ketidaktahuan ini, meski tidak disengaja, tetap berdampak pada kebocoran penerimaan negara. Edukasi dan sosialisasi pemerintah terkait hal ini perlu ditingkatkan di masyarakat.
Namun, di sisi lain, era digital juga membawa peluang yang luar biasa besar. Digitalisasi memberi pemerintah alat untuk memperkuat sistem perpajakan, mulai dari pemanfaatan big data, artificial intelligence (AI), hingga integrasi sistem pelaporan dan pembayaran pajak secara daring. Dengan sistem yang lebih terotomatisasi dan terintegrasi, potensi peningkatan kepatuhan dan efisiensi pemungutan pajak menjadi lebih tinggi.
Langkah-langkah ke arah digitalisasi sebenarnya sudah dimulai. Program core tax system yang sedang dikembangkan DJP, misalnya, bertujuan untuk mengintegrasikan data wajib pajak secara menyeluruh agar pengawasan bisa lebih tajam dan akurat. Sistem ini akan memungkinkan pelacakan transaksi keuangan dan aktivitas ekonomi secara real-time, sehingga celah penghindaran pajak bisa semakin kecil.
Selain itu, pemanfaatan data dari pihak ketiga, seperti perbankan, e-commerce, dan platform digital lainnya, bisa membantu memetakan potensi perpajakan secara lebih menyeluruh. Namun, hal ini tentu memerlukan penguatan regulasi dan perlindungan data pribadi agar tidak menimbulkan persoalan baru di bidang privasi.
Perlu juga dicatat bahwa perubahan tidak cukup hanya dari sisi pemerintah. Kesadaran masyarakat tentang pentingnya pajak di era digital juga harus terus dibangun. Banyak generasi muda yang kini terjun ke dunia digital entrepreneurship atau menjadi konten kreator, tapi belum memahami kewajiban perpajakannya. Kampanye edukasi pajak yang relevan dan sesuai dengan gaya hidup digital menjadi kunci. Misalnya, DJP bisa menggandeng influencer untuk menyampaikan pesan pajak dengan bahasa yang ‘casual’ sehingga lebih dekat dengan generasi muda.
Selain edukasi, insentif juga bisa menjadi pendekatan efektif. Ketimbang pendekatan yang hanya menekankan sanksi, kenapa tidak menggunakan pendekatan berbasis penghargaan bagi wajib pajak digital yang patuh? Ini bisa menumbuhkan semangat sukarela membayar pajak, yang akan lebih berkelanjutan dalam jangka panjang. Dibutuhkan ide-ide segar dan terobosan-terobosan baru yang ‘out of the box’. Pemerintah tidak boleh terjebak pada pendekatan dan style lama yang kaku dalam upayanya meningkatkan penerimaan pajak.
Masa depan penerimaan negara Indonesia sangat bergantung pada kemampuan kita membaca arah perubahan ini. Jika sistem perpajakan bisa beradaptasi dengan cepat, memanfaatkan teknologi, dan mendekatkan diri ke ekosistem digital, maka potensi peningkatan penerimaan akan sangat besar. Tapi, jika kita terlambat atau hanya berfokus pada cara-cara lama, kita akan terus tertinggal dan kehilangan peluang.
Era digital tak akan menunggu. Perubahan terus bergulir, dan inovasi akan terus melahirkan bentuk-bentuk ekonomi baru yang mungkin saat ini belum kita kenal. Oleh karena itu, perpajakan juga harus menjadi institusi yang dinamis, terbuka terhadap inovasi, dan cepat dalam merespons perubahan. Kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri digital, dan masyarakat menjadi sangat penting dalam membangun sistem perpajakan yang adil dan berkelanjutan.
Kesimpulannya, masa depan penerimaan negara Indonesia di era digital sangat menjanjikan, asalkan kita mampu mengelola perubahan dengan cerdas. Pemerintah harus menjadi fasilitator sekaligus pengarah, bukan semata-mata pemungut. Negara seharusnya tidak berjalan seperti korporasi yang semata mengejar keuntungan.
Sementara masyarakat, terutama generasi digital, perlu diajak untuk memahami bahwa membayar pajak bukan beban, melainkan kontribusi nyata bagi masa depan bangsa. Pemerintah memiliki peran strategis dalam mengedukasi masyarakat, khususnya generasi muda yang akrab dengan teknologi.
Edukasi pajak harus dikemas secara kreatif dan relevan agar mereka memahami bahwa pajak bukan beban, melainkan bentuk kontribusi nyata bagi pembangunan bangsa. Melalui media sosial, platform digital, dan kampanye interaktif, pemahaman tentang pentingnya pajak dapat ditanamkan sejak dini.
Generasi digital harus diajak berpikir visioner bahwa jalan, sekolah, layanan kesehatan, dan infrastruktur lainnya adalah hasil dari pajak yang dibayarkan. Kesadaran kolektif inilah yang akan menggerakkan Indonesia menuju masa depan yang lebih sejahtera.(adr)
*Penulis adalah Pemimpin Redaksi Kubus.ID (ANDIKA Media)