KUBUS.ID – Di era digital seperti sekarang, makin banyak orang menjadikan platform seperti YouTube dan TikTok sebagai ladang cuan. Monetisasi konten berkembang pesat dan membuka peluang ekonomi yang menjanjikan.
Tapi di balik itu, muncul pertanyaan penting dari umat Islam: Apakah penghasilan dari konten digital halal? Majelis Tarjih Muhammadiyah angkat suara soal ini. Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Bekti Hendrie Anto, secara mendalam mengulas pentingnya umat Islam menguasai dunia digital, termasuk aspek monetisasinya.
Mengutip laman resmi Muhammadiyah, Jumat (25/7), Bekti Hendrie Anto menegaskan bahwa penguasaan dunia digital bukan lagi pilihan, melainkan keharusan di era modern. Ia mengaitkan hal ini dengan kaidah fikih: “Mā lā yatimmu al-wājib illā bihi fa huwa wājib” — sesuatu yang menjadi syarat terpenuhinya kewajiban, maka ia pun menjadi wajib.
Artinya, jika menjalankan ajaran agama adalah kewajiban, dan dunia digital menjadi sarana penting untuk itu, maka menguasai dunia digital juga menjadi kewajiban.
Bekti menyoroti potensi ekonomi yang besar dari ekosistem digital melalui monetisasi konten di platform seperti YouTube dan TikTok.
Namun Bekti menegaskan, monetisasi bukan kewajiban, melainkan opsi. Dunia digital juga bisa digunakan untuk dakwah, edukasi, dan penyebaran nilai kebaikan, tanpa motif keuntungan semata.
Etika Islam dalam Monetisasi Konten
Lalu, bagaimana pandangan Islam terhadap monetisasi ini? Bekti mengajak masyarakat melihatnya bukan sekadar halal-haram, tapi melalui kerangka maqashid syariah (tujuan-tujuan utama syariat) dan pertimbangan kemaslahatan (kebaikan umum). Ia merujuk pada Pedoman Etika Bisnis Muhammadiyah (HPT Jilid III) dan menyebutkan tiga prinsip utama:
1. Niat yang Lurus
Konten harus dibuat dengan tujuan ibadah dan menyebarkan kebaikan. Bukan sekadar mengejar viral atau cuan.
2. Halalan Thayyiban
Monetisasi harus dilakukan secara syar’i. Artinya:
- Tidak mengandung unsur riba, judi, tipu daya, atau konten yang merusak.
- Tidak mempromosikan pinjol, judol, atau konten tidak etis.
- Akad atau perjanjian monetisasi harus jelas dan tidak merugikan.
3. Memberi Dampak Positif
Konten harus memberikan manfaat nyata, baik secara sosial, spiritual, maupun ekonomi. Pertanyaannya: siapa yang benar-benar mendapatkan manfaatnya? Apakah masyarakat atau hanya pembuat konten?
Bekti mengakui bahwa platform digital global umumnya tidak berbasis syariah. Maka, diperlukan pemahaman fikih lanjutan, termasuk:
- Fikih prioritas (aulawiyat)
- Fikih darurat (darurat)
- Fikih maslahat (kebaikan publik)
Ia juga menyebut sejumlah kaidah penting seperti:
- “Menolak kerusakan lebih utama daripada menarik kebaikan”
- “Jika dua keburukan tak bisa dihindari, pilih yang lebih ringan”
Dalam praktiknya, ini bisa diterapkan saat konten menghadapi tantangan seperti iklan campuran (halal dan haram), akad yang ambigu, atau konten tidak orisinal.
“Jika konten sangat dibutuhkan umat namun disertai unsur haram yang sulit dihindari, maka penghasilan haramnya harus disucikan dan tidak digunakan untuk kepentingan pribadi,” jelas Bekti.
Kesimpulan: Kuasai, Manfaatkan, dan Jaga Etika Digital
Majelis Tarjih menegaskan bahwa penguasaan dunia digital adalah bagian dari ibadah dan jihad zaman ini. Monetisasi bisa menjadi sarana dakwah dan sumber rezeki halal jika:
- Dilandasi niat lurus
- Dijalankan secara etis
- Diberi orientasi kemaslahatan
Namun, jika terlalu sulit menghindari keharaman, tidak memonetisasi bisa menjadi pilihan yang lebih aman.(adr)