Beranda Gaya Hidup ‘Quarter Life Fatigue’: Gen Z dan Beban Psikologis di Usia Muda

‘Quarter Life Fatigue’: Gen Z dan Beban Psikologis di Usia Muda

1864

KUBUS.ID – “Kayaknya aku sudah terlalu tua buat mulai dari nol.”
Kalimat ini bukan berasal dari orang 40-an yang sedang mempertimbangkan karier kedua. Tapi dari anak muda usia 22 tahun yang baru saja lulus kuliah.

Fenomena ini bukan kasus tunggal. Banyak Gen Z—generasi yang lahir antara 1997 hingga 2012—mengaku merasa tua, lelah, dan tertinggal, padahal usia mereka baru menginjak awal 20-an. Survei dari lembaga riset tren Ypulse menunjukkan bahwa mayoritas Gen Z merasa hidup mereka sudah terlalu berat, seolah langkah mereka telat dimulai.

Di balik wajah-wajah yang tampak aktif di media sosial, ada banyak cerita tentang kecemasan, kehilangan arah, dan burnout yang mengendap diam-diam. Pertanyaannya: mengapa generasi yang relatif masih muda ini bisa merasa seperti sudah terlalu tua untuk hidup?

Bukan Usia, Tapi Beban Mental yang Terlalu Dini

Psikolog klinis Reti Oktania, M.Psi., menjelaskan bahwa salah satu penyebab utama Gen Z merasa “tua” adalah tekanan psikologis dalam proses pencarian jati diri. Dalam psikologi perkembangan, usia 20-an adalah fase penting yang disebut identity versus role confusion—sebuah masa di mana seseorang seharusnya bebas mengeksplorasi diri, mencoba banyak peran, dan menentukan arah hidup.

Namun di era digital ini, proses penting tersebut terhalang oleh ekspektasi sosial yang dibentuk oleh media sosial. Alih-alih fokus pada perjalanan pribadinya, banyak Gen Z justru terus membandingkan hidup mereka dengan pencapaian orang lain: mulai dari teman seangkatan yang viral, punya bisnis, menikah muda, atau rutin traveling ke luar negeri.

Mereka merasa tertinggal, padahal mungkin baru saja memulai.
Mereka merasa gagal, padahal bahkan belum diberi ruang untuk mencoba.

Lelah Sebelum Sampai: Quarter Life Crisis yang Makin Dini

Berbeda dengan Milenial yang masih sempat “bernapas” sebelum media sosial menjadi segalanya, Gen Z tumbuh dalam dunia serba cepat dan instan. Setiap prestasi diumbar, setiap kegagalan disembunyikan. Ini membuat mereka tumbuh dengan tekanan besar untuk menjadi seseorang dalam waktu yang singkat.

Padahal realitas kehidupan jauh lebih kompleks daripada highlight story Instagram.

Selain itu, kehidupan pascapandemi, tekanan ekonomi, perubahan iklim, hingga instabilitas politik global, semuanya ikut menciptakan rasa tidak aman secara kolektif—terutama bagi generasi muda yang sedang mencari pijakan hidup.

Milenial Lebih Tenang: Faktor Kedewasaan dan Stabilitas

Menariknya, meski menghadapi tekanan ekonomi yang serupa, generasi Milenial justru lebih optimis dan tenang menjalani kehidupan dewasa. Mereka tetap bisa merasa muda di usia 30-an, bahkan banyak yang baru menemukan jati dirinya setelah melewati berbagai kegagalan.

Menurut Reti, hal ini terjadi karena sebagian besar Milenial kini telah masuk tahap kehidupan yang lebih stabil: banyak yang sudah bekerja tetap, menikah, atau memiliki sistem dukungan sosial yang kuat. Dengan kondisi tersebut, mereka bisa lebih fokus pada self-care, healing, dan pertumbuhan pribadi.

Jangan Bangun Identitas dari Pekerjaan Saja

Untuk membantu Gen Z lebih stabil secara psikologis, Reti menyarankan agar mereka tidak menggantungkan seluruh identitasnya hanya pada satu aspek—seperti pencapaian akademik, karier, atau citra diri di media sosial.

Mengadaptasi teori self-concept dari psikolog Susan Harter, ia menyebut ada enam “keranjang identitas” yang sehat dan seimbang, yaitu:

  1. Akademik & Pengetahuan
    Belajar tidak selalu berarti nilai bagus atau gelar tinggi. Bisa dari buku, diskusi, podcast, atau pengalaman langsung.
  2. Koneksi Sosial
    Hubungan yang sehat tidak diukur dari banyaknya teman, tapi dari kualitas keterhubungan yang hangat dan jujur.
  3. Kesehatan Fisik
    Olahraga, tidur cukup, makan yang bergizi, dan merawat tubuh adalah bagian penting dari menghargai diri sendiri.
  4. Minat & Hobi
    Temukan kesenangan kecil tanpa tuntutan harus “berhasil”. Bermusik, memasak, mengoleksi, atau main game bisa menjadi tempat untuk rehat dari tekanan hidup.
  5. Tanggung Jawab & Peran Sosial
    Miliki peran yang memberi makna, baik dalam pekerjaan, keluarga, maupun komunitas. Ini membantu merasa berguna.
  6. Kebaikan & Makna Hidup
    Lakukan hal baik setiap hari—bahkan sekecil menyapa orang dengan ramah atau memberi makan hewan liar. Itu semua menguatkan rasa kebermaknaan.

Menjadi Muda Tak Harus Terburu-Buru

Usia muda adalah fase eksplorasi, bukan perlombaan. Merasa lelah di usia 20-an bukan tanda kegagalan, tapi bisa jadi sinyal bahwa kita butuh jeda, bukan pecut.

Gen Z tidak perlu merasa “terlambat” hanya karena jalan hidupnya tidak secepat orang lain. Hidup bukan soal siapa yang duluan sampai, tapi siapa yang paling mengenal dirinya saat sampai di tujuan.

“Kadang kamu hanya perlu melambat sejenak, bukan berhenti. Karena mengenal diri butuh waktu, bukan validasi.” (thw)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini