
KEDIRI, (KUBUS.ID) — Munculnya gerakan patungan beli hutan yang ramai diperbincangkan di media sosial mendapat atensi berbagai pihak. M. Sinung Restendy, Pengamat Sosial dan Komunikasi dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, angkat suara terkait hal itu.
Menurut Sinung, fenomena itu bukan sekadar ajakan urunan membeli kawasan hutan, melainkan bentuk kritik tajam terhadap perhatian pemerintah yang dinilai minim dalam menjaga kelestarian hutan di Indonesia. Ia menilai maraknya kerusakan hutan menunjukkan bahwa fokus kebijakan saat ini masih lebih condong pada eksplorasi ketimbang konservasi.
“Patungan beli hutan itu secara moral sebenarnya tidak layak dilakukan. Gerakan itu bukan benar-benar untuk membeli hutan, tetapi menjadi kritik sosial terhadap pemangku kebijakan yang tidak memberikan perhatian cukup pada keberlanjutan hutan,” ujarnya.
Ia membandingkan paradigma pengelolaan alam di Indonesia dengan praktik di Amerika Serikat, yang menurutnya lebih menempatkan manusia sebagai bagian dari ekosistem, bukan penguasa tunggal.
“Di sana, manusia tidak hidup berdampingan dengan entitas alam. Pohon bahkan dianggap memiliki hak yang sama agar tidak terjadi kerusakan ekologis,” jelas Sinung.
Konsep hak-hak alam, menurutnya, menjadi dasar penting mengapa hutan tidak sepatutnya dinilai atau diperdagangkan layaknya komoditas. Pada dasarnya, membeli pohon atau hutan itu bentuk kritik sosial satir. Hutan tidak bisa diukur dengan uang, apalagi diperjualbelikan.
Sinung menegaskan perlunya pertobatan ekologis yang diwujudkan melalui kebijakan konkret. Ia mendorong Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membuat nomenklatur hukum yang memberi perlindungan lebih kuat bagi entitas alam, sehingga kerusakan tidak semakin massif.
“Indonesia membutuhkan regulasi yang berpihak pada kelestarian alam. Perlindungan hutan harus menjadi kajian serius bersama agar dampak kerusakan yang terjadi hari ini tidak berimplikasi lebih buruk di masa depan,” tutupnya. (far)
































