Beranda Jawa Timur Tak Penuhi Pagu, Tiga Sekolah Dasar di Kabupaten Blitar Diregrouping

Tak Penuhi Pagu, Tiga Sekolah Dasar di Kabupaten Blitar Diregrouping

30
Sumber: Blitar Kawentar

KUBUS.ID – Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) tahap pertama dan kedua di Kabupaten Blitar telah selesai dilaksanakan, mencakup jenjang TK, SD, dan SMP. Namun, pelaksanaannya menunjukkan dinamika yang cukup kompleks, terutama terkait jumlah siswa yang diterima. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar, Adi Andaka, mengatakan bahwa kondisi tiap sekolah sangat beragam. Ada sekolah yang menolak siswa karena kelebihan pagu, tapi ada juga yang kekurangan pagu.

Ia menyebutkan, di jenjang SMP khususnya sekolah yang tergolong Grade C, rata-rata jumlah siswa tidak mencapai pagu yang ditetapkan. Per rombel idealnya 20 sampai 32 siswa, tapi banyak yang kurang dari itu. Adi mencontohkan, meskipun pagu maksimal mencapai 96 siswa, ada sekolah yang hanya menerima 61 siswa.

“Walau pagu tidak terpenuhi, proses pembelajaran tetap bisa berjalan,” imbuhnya.

Sementara di jenjang SD, terdapat tiga sekolah yang harus dilakukan regrouping karena jumlah siswa tidak mencukupi. Satu sekolah berada di Kecamatan Garum, dan dua lainnya di Kecamatan Kanigoro. Menurut Adi, keputusan regrouping didasarkan pada sejumlah pertimbangan. Untuk sekolah di Garum, letaknya dekat jalan raya, sementara warga banyak tinggal di seberangnya. Mereka lebih memilih sekolah yang berada di sisi tempat tinggal mereka karena merasa lebih aman untuk anak-anak.

Selain itu, ada sekolah inklusi yang mengalami penurunan minat dari siswa reguler. Sekolah inklusi menerima 10% siswa berkebutuhan khusus. Tapi, ternyata masyarakat justru enggan mendaftarkan anaknya ke sana. Padahal, kuota 90% bagi siswa reguler tetap tersedia. Akibatnya, pagu tidak terpenuhi dan sekolah pun diregrouping.

“Keputusan regrouping didasarkan pada sejumlah pertimbangan. Untuk sekolah di Garum, letaknya dekat jalan raya, sementara warga banyak tinggal di seberangnya. Mereka lebih memilih sekolah yang berada di sisi tempat tinggal mereka karena merasa lebih aman untuk anak-anak,” katanya.

Menanggapi hal tersebut, Dinas Pendidikan kini membentuk Unit Layanan Disabilitas untuk melakukan asesmen terhadap siswa berkebutuhan khusus. Langkah ini diharapkan mampu menentukan apakah anak-anak tersebut sebaiknya belajar di sekolah umum atau sekolah khusus.

Adi juga menyoroti pentingnya perubahan sikap dari para guru, khususnya yang berstatus PNS. Menurutnya, kadang guru terlalu nyaman di zona aman. Padahal, seharusnya jumlah siswa sedikit atau banyak tetap jadi tanggung jawab yang harus disikapi serius. Ia berharap ke depan, para guru dan pihak sekolah dapat lebih adaptif dan inovatif dalam menjawab tantangan pendidikan di daerah.(far/slv)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini