
KEDIRI, (KUBUS.ID) – Wacana pengembalian mekanisme pemilihan kepala daerah (Pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali ramai diperbincangkan. Menanggapi hal tersebut, Pengamat Politik sekaligus Dosen Fisip Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Prof. Dr. Asep Nurjaman, M.Si, menilai bahwa desentralisasi politik pada dasarnya sangat bergantung pada situasi dan kondisi yang dihadapi suatu negara.
Menurut Prof. Asep, tingkat desentralisasi politik bisa saja diperkuat, dilemahkan, atau bahkan dikembalikan ke mekanisme sebelumnya, termasuk melalui DPRD. Hal tersebut bergantung pada pertimbangan mengenai kebaikan dan keburukan dari langkah politik yang diambil, karena setiap kebijakan memiliki konsekuensi masing-masing.
Ia menjelaskan, jika Pilkada dikembalikan untuk dipilih oleh DPRD, terdapat sejumlah dampak positif yang berpotensi muncul. Salah satunya adalah terbangunnya konektivitas yang lebih kuat antara pemerintah pusat dan daerah, karena kepala daerah terpilih harus melalui proses politik yang mendapat restu dari DPRD.
“Tentu dengan demikian, integrasi antara pusat dan daerah dinilai akan lebih terjaga,” kata Prof. Asep saat mengudara di Radio ANDIKA Kediri pada Sabtu, (14/12).
Selain itu, proses pemilihan kepala daerah melalui DPRD dinilai akan berlangsung lebih cepat karena dilakukan langsung oleh anggota dewan. Dari sisi pembiayaan, mekanisme ini juga dianggap lebih efisien karena tidak memerlukan mobilisasi massa seperti dalam Pilkada langsung. Prof. Asep juga menilai bahwa posisi lembaga legislatif akan semakin kuat, sehingga akuntabilitas kepala daerah terhadap DPRD menjadi lebih tinggi.
Namun demikian, Prof. Asep mengingatkan bahwa pengembalian Pilkada melalui DPRD juga memiliki sejumlah kelemahan. Salah satu dampak yang paling dikhawatirkan adalah berkurangnya partisipasi masyarakat karena publik tidak lagi terlibat secara langsung dalam proses pemilihan kepala daerah.
Selain itu, ia menilai terdapat risiko terjadinya praktik tawar-menawar politik antarpartai politik di DPRD. Kondisi tersebut berpotensi menjadikan kepala daerah terpilih sebagai hasil kompromi elite politik. Dengan posisi DPRD yang cukup dominan, kepala daerah juga dikhawatirkan dapat “disetir” oleh kepentingan legislatif.
Prof. Asep menambahkan, mekanisme pemilihan melalui DPRD juga dapat membatasi akses masyarakat untuk mengenal dan menilai calon kepala daerah secara langsung. Meski demikian, ia menegaskan bahwa siapapun yang dipilih, baik melalui DPRD maupun pemilihan langsung, tidak menjadi persoalan selama nomenklatur hukum dan payung aturannya telah tersedia.
Ia juga menyoroti dampak bagi partai politik kecil. Menurutnya, jika Pilkada dilakukan melalui DPRD, partai-partai kecil cenderung tidak memiliki kekuatan politik yang signifikan dan hanya akan mengikuti arus partai besar.
“Ini akan beda dengan Pilkada langsung, di mana partai kecil masih memiliki peluang melalui figur calon yang dinilai langsung oleh masyarakat,” ujarnya.
Lebih lanjut, Prof. Asep menyampaikan bahwa bagi masyarakat, mekanisme apapun pada dasarnya dapat berjalan dengan baik jika kondisi politik memungkinkan. Ia menilai dalam praktik Pilkada langsung saat ini masih sering terjadi bias politik yang seharusnya tidak muncul, sehingga memicu banalisasi politik di tingkat akar rumput.
Meski regulasi Pilkada langsung sudah dibuat cukup ketat, Prof. Asep menilai isu politik uang masih kerap muncul dan menjadi persoalan berulang setiap kali Pilkada langsung digelar. (far)































