KUBUS.ID – Toxic masculinity atau maskulinitas toksik adalah konsep yang mengakar dari norma-norma gender tradisional, yang menuntut laki-laki untuk selalu tampil kuat, tegar, dan tidak menunjukkan emosi. Menangis atau merasa sedih dianggap sebagai kelemahan, seolah bukan bagian dari sifat laki-laki sejati.
Apa Itu Toxic Masculinity?
Dilansir Kompas.com (26 Juni 2025), toxic masculinity adalah seperangkat sikap, perilaku, dan kepercayaan yang berasal dari pandangan tradisional tentang maskulinitas, namun dibawa ke tingkat ekstrem. Konsep ini menekankan bahwa laki-laki harus dominan secara fisik, emosional, maupun sosial.
Ciri-ciri Toxic Masculinity
Laki-laki yang terjebak dalam budaya toxic masculinity sering kali merasa terpaksa menyembunyikan kerentanan mereka. Tiga ciri utamanya adalah:
- Ketangguhan berlebihan – Laki-laki harus tampil kuat dan agresif, tanpa ruang untuk kelemahan.
- Penolakan terhadap sifat feminin – Emosi seperti kesedihan dianggap tidak pantas bagi laki-laki.
- Obsesi terhadap kekuasaan dan status sosial – Keberhasilan dan dominasi dijadikan tolok ukur utama.
Dalam jurnal “Toxic Masculinity Tokoh Ken Pada Film Barbie Live Action 2023” yang dimuat di Journal of Contemporary Indonesian Art (Vol. 9 No. 2, 2023), disebutkan bahwa toxic masculinity juga tercermin dalam gaya kepemimpinan yang intimidatif serta cenderung menggunakan kekerasan.
Contohnya, seseorang yang memaksakan kendali lewat ancaman, atau menunjukkan hipermaskulinitas—yakni kebanggaan berlebihan terhadap sifat maskulin dan meremehkan nilai-nilai seperti kelembutan atau ekspresi emosi (kecuali kemarahan).
Dampak Berbahaya Bagi Individu dan Lingkungan
Toxic masculinity tidak hanya memengaruhi kehidupan pribadi laki-laki, tetapi juga lingkungan sosial mereka. Dalam dunia pendidikan, pekerjaan, hingga hubungan romantis, norma ini dapat menyebabkan tekanan luar biasa.
Misalnya, anggapan bahwa laki-laki tidak boleh meminta bantuan atau pergi ke psikolog dapat menghambat penanganan gangguan mental. Banyak laki-laki memilih diam karena takut dianggap lemah—meskipun mereka sedang berjuang dengan kecemasan, depresi, atau rasa kesepian.
Akibatnya, mereka rentan terhadap masalah seperti penyalahgunaan zat, ledakan emosi, bahkan bunuh diri. Tidak sedikit pula yang menggunakan kekerasan sebagai bentuk pelampiasan dari tekanan emosional yang terpendam.
Selain itu, toxic masculinity juga memperkuat praktik diskriminatif, termasuk terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya. Dalam hubungan sosial, laki-laki dengan pola pikir ini cenderung memaksakan kehendak, sulit meminta maaf, dan kesulitan membangun ikatan emosional yang sehat.
Kesehatan Mental Laki-laki dan Tekanan Sosial
Psikolog Danti menjelaskan bahwa tuntutan untuk selalu kuat justru menjadi beban tersendiri bagi laki-laki. Meskipun laki-laki bisa mengalami gangguan mental, mereka sering tidak mendapatkan dukungan yang sama karena stigma yang melekat.
Banyak dari mereka dibesarkan dalam lingkungan yang tidak mengajarkan cara mengekspresikan perasaan. Akibatnya, mereka takut dihakimi saat mencoba membuka diri. Hal ini membuat gangguan kesehatan mental mereka kerap tidak tertangani dengan baik.
Sebagai bentuk pelarian, sebagian laki-laki mengandalkan mekanisme coping yang tidak sehat, seperti alkohol, narkoba, atau perilaku agresif. Padahal, coping mechanism seharusnya menjadi cara yang membantu seseorang mengatasi stres atau tekanan, bukan justru memperparah kondisi.
Toxic masculinity bukan hanya membatasi laki-laki untuk menjadi manusia seutuhnya, tapi juga berisiko merusak hubungan dan lingkungan sosial. Sudah saatnya kita mengubah narasi: menangis bukan tanda kelemahan, dan menunjukkan emosi bukan berarti kurang jantan. Laki-laki pun berhak untuk merasa rapuh, meminta bantuan, dan menjadi versi terbaik dari dirinya tanpa tekanan norma usang. (thw)
Sumber: Kompas.com