KUBUS.ID – Tidak semua senyum mencerminkan kebahagiaan. Ada senyum yang justru menjadi topeng dari rasa sakit yang mendalam. Fenomena ini dikenal sebagai smiling depression atau depresi tersenyum—suatu kondisi ketika seseorang tampak bahagia dan berfungsi dengan baik di permukaan, padahal sedang bergulat dengan kesedihan atau keputusasaan yang tidak terlihat.
Apa Itu Smiling Depression?
Mengutip laman Central Health (8 Agustus 2025), smiling depression sering dikategorikan sebagai depresi dengan fungsi tinggi (high-functioning depression). Artinya, meski sedang mengalami tekanan emosional, penderitanya tetap mampu menjalani rutinitas harian—bekerja, bersosialisasi, bahkan tertawa—seolah-olah semuanya baik-baik saja. Namun di balik senyum tersebut, tersembunyi kecemasan, rasa hampa, atau kesedihan mendalam yang jarang terungkap.
Peran Budaya dan Media Sosial
Tekanan sosial dan budaya sering kali memperparah kondisi ini, terutama dalam lingkungan yang memandang gangguan mental sebagai kelemahan.
Menurut Dr. Asim Shah, profesor Psikiatri dari Baylor College of Medicine, banyak individu—khususnya dari komunitas Asia-Amerika dan Kepulauan Pasifik (AAPI)—enggan mencari bantuan profesional karena takut dinilai lemah atau malu pada pandangan orang sekitar.
Media sosial juga turut memperburuk situasi. Paparan terhadap kehidupan orang lain yang tampak “sempurna” dapat menimbulkan rasa iri atau tidak cukup baik. Kristen Eccleston, Direktur Layanan Sosial-Emosional di Weinfeld Education Group, menjelaskan bahwa media sosial menciptakan ketimpangan antara perasaan batin dan citra yang dipaksakan ke publik, yang bisa memperdalam rasa keterasingan.
Gejala yang Tersembunyi
Secara umum, gejala smiling depression mirip dengan depresi biasa: gangguan tidur, kehilangan minat, dan meningkatnya kecemasan. Namun, perbedaannya terletak pada upaya besar penderita untuk menyembunyikan semua itu.
Akting ceria sepanjang hari sangat menguras tenaga secara emosional, dan justru rasa lelah karena “berpura-pura baik-baik saja” bisa menjadi tanda penting yang kerap diabaikan.
Menurut Central Health, siapa pun bisa mengalami kondisi ini, namun individu yang merasa harus menjaga citra atau takut mengecewakan orang lain lebih berisiko.
Kristen Eccleston menambahkan bahwa orang yang mengalami trauma masa lalu atau beban emosional berat juga lebih rentan. Hal ini diperkuat oleh Amira Martin, LCSW-R, seorang terapis dan profesor, yang menekankan bahwa tekanan untuk selalu tampil “kuat”—terutama di budaya yang menganggap emosi sebagai kelemahan—dapat menekan seseorang hingga tidak merasa bebas untuk menunjukkan luka batinnya.
Mencari Bantuan dan Memberikan Dukungan
Karena gejalanya terselubung, smiling depression sering kali tidak terdiagnosis. Maka dari itu, penanganan oleh tenaga profesional yang memahami dinamika emosional tersembunyi sangat penting.
Pendekatan yang digunakan bisa beragam, mulai dari terapi perilaku kognitif, meditasi, hingga penggunaan obat jika dibutuhkan.
Psikolog klinis Dr. Carolina Estevez menyarankan agar penderita melibatkan diri dalam aktivitas yang menenangkan, seperti berjalan di alam, membaca buku, atau menghabiskan waktu dengan orang-orang terdekat. Ia juga menekankan pentingnya menjaga pola hidup sehat melalui tidur cukup, makanan bergizi, dan olahraga teratur.
Untuk orang-orang di sekitar, kehadiran dan kesediaan untuk mendengarkan bisa menjadi bentuk dukungan yang sangat berarti. Meski stigma tentang kesehatan mental masih ada, kesadaran mulai tumbuh.
Dr. Asim Shah juga menekankan pentingnya pendekatan yang sensitif terhadap latar belakang budaya, karena smiling depression sering kali bukan hanya soal perasaan, tetapi tentang harapan yang sulit diungkapkan secara terbuka.
Jika kamu atau orang terdekatmu merasa mengalami hal ini, jangan ragu untuk mencari bantuan. Senyum bukan satu-satunya tanda bahwa semuanya baik-baik saja.
Source: kompas.com