Oleh: Abdul Rohman Sukardi
Teori itu marak pada tahun 1990-an. Akhir abad 20. Teori Benturan Peradaban atau clash of civilizations (CoC). Menyeruak sebagai diskursus dalam diskusi-diskusi kritis gerakan mahasiswa.
Ide itu diperkenalkan ilmuwan politik Amerika. Samuel P. Hutington. Pertama kali melalui pidato tahun 1992. Dikembangkan dalam artikel berjudul “The Clash of Civilizations?, pada tahun 1993. Kemudian dikembangkan sebagai tesis pada tahun 1996.
Inti teori itu, Hutington mengajak orang percaya. Berakhirnya perang dingin antara blok komunis vs non komunis akan menggeser pendulum benturan. Menjadi pertengkaran peradaban barat vs non barat, serta peradaban non barat itu sendiri.
Hutington mengklasifikasi sembilan peradaban kontemporer. Peradaban Barat, Cina, Jepang, Amerika Latin, Afrika, Hindu, Budha, Islam, dan Kristen Ortodoks. Ia mengajak mempercayai benturan paling besar itu terjadi antara peradaban barat Kristen dengan peradaban Islam.
Kala itu teori Hutington diterima ibarat primbon tanpa lubang cela. Oleh aktivis maupun kebanyakan cendekiawan muslim. Sebagai mercusar sains, teori-teori ilmuan barat diterima nyaris tanpa perlawanan kritis.
Kini lebih tiga dekade teori itu menjalar bagaikan virus ke seluruh dunia. Kita bisa menelaah secara kritis kejadian-kejadian besar dunia, antara Kristen barat dan dunia Islam dalam rentang waktu itu.
Indonesia negara penduduk muslim terbesar dipenggal proses kemajuannya pada tahun 1998. Sejumlah catatan memberi informasi keterlibatan Michel Camdessus, Direktur Pelaksana IMF, dan Bill Clinton (Presiden AS), dalam gejolak politik Indonesia pada tahun-tahun itu.
Muncul kasus 9/11, 11 September 2001 terhadap gedung kembar WTC AS. Digambarkan sebagai deklarasi terorisme Islam melawan barat (AS). Kemudian Afganistan. Dihujani mesin perang dengan kekuatan tidak seimbang. Untuk beberapa tahun Afganistan dalam pendudukan AS.
Irak, Libya, ditumbangkan. Sadam Husein dan Qadhafi tewas. Arab Spring dimunculkan. Sebagai gerakan demokratisasi di jazirah itu.
Negara-negara muslim yang tidak tunduk pada barat akan diacak-acak. Proyek perang melawan terorisme berlangsung di mana-mana. Di semus belahan dunia di mana muslim tinggal.
Mari kita cermati teori Hutington itu dari perpektif hari ini. Perspektif dekade ketiga abad 21. Teori itu tampak sebagai justifikasi yang dipaksakan untuk munculnya perang baru. Pasca runtuhnya blok komunis. Misalnya untuk kontestasi industri militer.
Faktanya dalam rentang itu (akhir abad 20 s.d dekade ke 3 abad 21) tidak ada keseriusan dunia muslim melawan barat. Kecuali sekelompok terosis yang entah sebenarnya mewakili siapa.
Pada hari ini, benturan antara dunia Islam dan barat itu tampak sebagai fatamorgana belaka.
Pada saat bersamaan, muncul kembali pembenaran teori lama. “Abad Asia tidak bisa dihadang, hanya bisa diperlambat”. RRC dan India telah bergegas menjadi raksasa baru ekonomi dunia, mengalahkan kekuatan barat.
Imbas perang yang dipaksakan kepada dunia muslim itu, masyarakat barat mulai mengenal Islam. Gelombang mualaf telah bergerak seperti virus di negara barat.
Sulit dibayangkan bahwa barat terkecoh oleh keasikan memerang dunia muslim. Pada saat yang bersamaan, kekuatan ekonomi dunia telah bergeser meninggalkannya.
Kegagalan pembuktian teori Hutington harus menyadarkan masyarakat muslim. Eksistensi peradaban Islam tidak harus ditegakkan melalui benturan. Berbeda dengan abad pertengahan dan sebelumnya. Dunia dipenuhi kepemimpinan otoritarianisme kerajaan dan kekaisaran.
Abad 21 adalah abad ilmu pengetahuhan dan demokrasi. Kepemimpinan peradaban merupakan kepemimpinan nilai.
Tanpa harus merebut genggaman kekuasaan, kepemimpinan peradaban sangat mungkin bisa diwujudkan.
Diperlukan upaya gencar mengembangkan pusat-pusat pembelajaran ke-Islaman. Di seluruh penjuru dunia. Terutama negara yang economic power nya sangat dominan. Seperti di G-20.
Daripada bertengkar soal furuíyah. Hal-hal sepele, seperti susah move on pilpres, debat awal ramadhan, membidáhkan satu sama lain. Aktivis muslim/ormas Islam Indonesia seharusnya bergegas mendirikan lembaga-lembaga pendidikan Islam di negara-negara G-20.
Agar secara perlahan-lahan negara-negara itu diselimuti nilai-nilai Islam. Sebagaimana para Wali Songo dahulu mengislamkan Nusantara. Berhasil dalam jangka pendek tanpa cara benturan.
ARS ([email protected]), 12-03-2024