Beranda Opini CEO Andika Media Bedah Jantung

CEO Andika Media Bedah Jantung

1635

Catatan Rofik Huda, CEO ANDIKA Media

Alhamdulillah. Saya bersyukur bisa melewati tahapan operasi CABG dengan hasil yang cukup baik. Prosesnya juga sangat lancar. Saya masuk ke RS Premier Surabaya pada tanggal 24 Februari 2025 atau 2 hari menjelang jadwal tindakan CABG untuk menjalani screening dan pemeriksaan darah. Tanggal 26 Februari dilakukan operasi, 3 hari di ICU, 4 hari di ruang perawatan dan tanggal 5 Maret 2025 sudah bisa tidur di rumah. Dokter Yan Efrata Sembiring, Sp. BTKV berhasil melakukan operasi dengan baik. Dokter jebolan pendidikan BTKV di Singapura dan Australia itu memang istimewa.

Kini saya sedang menikmati masa recovery dan fisioterapi. Jalan pagi, senam ringan, zoom bersama teman teman Andika, adalah aktifitas sehari hari saya saat ini. Seluruh perban yang menutup luka juga sudah terlepas sejak kontrol pertama. Rasa sesak dan ampeg di bagian yang saya rasakan selama 5 tahun terakhir, sudah mulai hilang. Semoga usai lebaran bisa kembali beraktiftas di Andika Media Center. Juga bisa berinteraksi secara normal bersama teman teman komunitas sosial yang sudah menjadi bagian hidup saya sebelumnya. Saya sebenarnya ingin hadir saat event Kasih Kita Untuk Yatim Andika Media yang digelar 21 Maret 2025 mendatang. Saya kangen dengan event tahunan yang mengundang ratusan anak yatim untuk berbagi kasih itu. Namun nampaknya saya harus menahan diri karena masih masa recovery.

Pengalaman menjalani CABG ini tentu tidak akan mungkin saya lupakan seumur hidup. Jangankan membayangkan dada dibedah dan jantung direparasi, sejak kecil saya lihat darah saja ketakutan. Jarum suntik juga satu benda yang paling saya takuti. Tapi kenapa saya akhirnya berani menjalani CABG? Jawabannya, karena saya merasa sudah tidak ada pilihan lain. Saya juga sudah tidak kuat lagi dalam derita dan hidup penuh kekawatiran. Menjalani hari-hari dengan kondisi pembuluh jantung tersumbat 100 persen bukan perkara mudah. Saya sudah menjalaninya selama sekitar 3 tahun (dihitung mulai saat ketahuan). Dan selama itu pula saya berusaha menutupi apa yang sebenarnya saya rasa, agar orang orang di sekitar saya tidak ikut mencemaskannya.

Saya masih ingat persis, saat pertama kali terungkap, bahwa kondisi jantung saya cukup kronis. Sekitar Juli 2022, saya mendesain program Upgrading Customer Service Excellent untuk SDM RSUD SLG Kabupaten Kediri. Program tersebut wajib diikuti oleh seluruh staf dan manajemen. Kebetulan saya memiliki lisensi Master Trainer BNSP dalam bidang soft skills. Supaya pelatihan efektif, maka 600 lebih crew RSUD SLG dibagi dalam 8 kelas atau 8 hari. Selama 8 hari itu pula saya membawakan materi.

Pada hari terakhir up grading, saya merasa badan saya tidak enak, kepala pusing, dan dada terasa agak sesak. Ingatan saya langsung tertuju jantung. Pengalaman almarhumah ibu saya sakit jantung koroner dan kakak saya Bastomi Azhar meninggal karena serangan jantung saat dirawat di RS Bayangkara Kediri, memberi signal saya untuk waspada pada jantung saya. Hari itu juga, saya kontak Dokter Afis, spesialis jantung RSUD SLG. Kebetulan saya bersahabat akrab dengan Dokter Afis. Sering berdiskusi dan sharing. Dokter Afis juga nampak antusias mengikuti materi saya saat training berlangsung. Saya bilang ke Dokter Afis, saya minta treadmill.

Treadmill jantung adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan berjalan di atas treadmill untuk menguji kekuatan jantung saat beraktivitas berat. Selama ini saya rutin menjalani pemeriksaan jantung dengan USG atau ekokardiografi. Suatu pemeriksaan non invasive dengan menggunakan gelombang suara dan video untuk melihat fungsi jantung. Selama ini berdasar hasil USG, jantung saya berfungsi dengan baik. Namun pemeriksaan itu dilakukan dalam kondisi saya sedang posisi pasif, istirahat. Tidak dalam kondisi beraktifitas fisik. Makanya saya agak ngotot ke Dokter Afis agar dilakukan treadmill.

Besok malamnya, saya menjalani treadmill di rumah sakit milik Dokter Afis di Pare. Saat uji fisik itulah saya merasa kepayahan berjalan di atas treadmill. Baru over speed sekitar 2-3 menit saja, saya merasa tidak mampu. Dada saya berdegup kencang. Saya menyerah dan treadmill dihentikan. Sekilas saya melihat ada ketegangan di wajah sahabat saya itu. Dan hasilnya sudah bisa saya tebak, ada potensi terjadi penyumbatan yang cukup parah di pembuluh jantung. Saya lemas mendengarnya. Tapi saya sudah menduganya. Saya bukan dokter, tapi saya cukup memahami organ tubuh saya. Saya pun sudah menyiapkan mental untuk menghadapi tahapan berikutnya, yaitu kateterisasi atau pemasangan ring.

Seminggu kemudian, saya menjalani operasi non invasive kateterisasi dan pemasangan ring di RS Persada Malang.  Pemasangan ring atau stent dilakukan untuk membuka pembuluh darah yang tersumbat. Pemasangan ring dilakukan dengan memasukkan kateter (tabung kecil) melalui pembuluh darah di bagian paha, lengan ataupun leher. Kateter ini membawa ring dan balon diujungnya ke pembuluh koroner yang tersumbat. Balon dikembangkan untuk melebarkan dinding pembuluh darah yang tersumbat, lalu ring ditinggalkan untuk menjaga agar tetap terbuka.

Di RS Persada Malang saya ditangani oleh Profesor Saifur Rohman, Sp JP (K) PhD, ahli jantung dan konsultan Itervensi Kardiologi RS Syaiful Anwar Malang. Saya percaya dengan kredibilitas Profesor Saifur, bahwa kateterisasi akan berlangsung lancar. Apalagi dari literasi yang saya pelajari serta cerita beberapa sahabat yang pernah pasang ring, operasi ini termasuk operasi standar. Meskipun ada alat yang dimasukkan dari paha menuju jantung, pasien hanya dibius lokal. Pasien masih bisa merasakan saat ada benda asing yang bergerak dari paha menuju jantung. Pasien hanya cukup opname sehari, setelah masa observasi, pasien bisa pulang.

Namun yang membuat saya kawatir adalah jika pemasangan ring tidak bisa dilakukan karena sumbatannya sudah diatas 80 persen. Saya teringat sahabat saya, Almarhum Mas Hamim Zar, salah satu founder Radio ANDIKA. Pada 2016, menjalani kateterisasi di RS UMM, namun ring tidak bisa dipasang karena sumbatannya di atas 90 persen. Demikian juga sahabat saya Mas Joko Trihardiyono, Staf Total Intermedia Malang, sebulan sebelum saya, di rumah sakit yang sama di RS Persada Malang, juga menjalani kateterisasi, hasilnya juga gagal dipasang ring. Keduanya diberikan opsi CABG atau bypass jantung. Namun hingga akhir hidupnya, tidak terlaksana. Keduanya meninggal sekitar 6 bulan pasca kateterisasi ring yang gagal.

Kekawatiran demi kekawatiran saya itu, akhirnya menjadi kenyataan. Di tengah operasi yang berlangsung sekitar 15 menit, Prof Saifur menghentikan prosesnya. Dia mengatakan kalimat yang sangat saya takuti, yaitu pemasangan ring tidak bisa dilakukan, karena pembuluh darah saya mengalami penyumbatan kompleks. Saya lemas. Air mata saya meleleh. Dada saya sesak. Bayangan akhir kehidupan saya mendadak muncul di depan mata.  Lalu saya didorong ke ruang observasi. Saya baru tersadar ketika bertemu dengan isteri dan anak saya saat keluar menuju kamar. Saya bilang, operasinya tidak berhasil. Saya tahu istri saya bersedih. Anak saya juga. Tapi dia bilang, nanti kita pikirkan bersama, pasti ada cara. Tetap ikhtiar, jangan putus asa. Sangat menenangkan.

Singkat cerita, saya hanya butuh waktu 2 hari untuk menenangkan diri di rumah. Saya sadar, saya harus bangkit. Berdiam diri hanya akan menyiksa diri dan memperburuk situasi. Setelah itu, saya berusaha keras memahami kondisi jantung saya, dengan memperbanyak literasi. Saya baca banyak artikel tentang jantung Koroner. Saya banyak menelepon teman dokter dan ahli nutrisi. Saya juga meminta saran adik saya yang kebetulan suami istri seorang dokter spesialis. Saya ingin mendapat input dari banyak sumber kompeten, apa yang seharusnya saya lakukan.

Dari hasil kateterisasi di RS Persada, terbaca jantung saya mengalami penyumbatan 100 persen di dua lokasi. Tebal dan panjang. Beberapa pembuluh yg masih berfungsi, kondisinya mulai tertempel plak atau kerak.  Kondisinya memang kompleks. Sumbatan parah itu tidak mungkin muncul dadakan. Kemungkinan itu sudah terjadi 3 hingga 5 tahun sebelumnya. Dan saya tidak menyadarinya. Saya ingat, ada tiga kata yang ditulis Prof. Saifur, dalam resume medis, yaitu CABG, high cost, high risk. Tiga kata itu membuat saya benar benar terpukul.

Namun sisi positifnya, muncul kolateral atau pembuluh alternatif di jantung saya. Dari pembuluh alternatif itulah, selama ini jantung saya mendapatkan suplay nutrisi. Menurut Dokter Afis, karena terbentuk kolateral alternatif itulah, jantung saya masih berfungsi dengan baik. Saat diuji dengan USG, fungsinya masih 75 persen, jauh di atas margin minimal jantung bermasalah, yaitu 60 persen. Masalahnya, dengan kinerja jantung yang masih sangat baik, pasokan nutrisi untuk menghidupi jantung saya, tertutup 100 persen. Seperti orang sehat, tapi tidak dapat makanan. Tentu saja, saat dipakai aktifitas berlebih, seperti lari kecil atau berfikir agak keras,  jantung akan berdetak keras dan nafas ngos-ngosan.

Setelah memahami kondisi riil jantung dan diskusi beberapa teman dokter dan ahli nutrisi, saya memutuskan pola hidup sehat. Saya menghentikan konsumsi gula, meninggalkan minyak goreng, lemak, dkk, serta mengganti nasi putih dengan nasi porang. Nasi porang saya pilih karena memiliki kalori dan kadar gula yang sangat rendah. Sepiring nasi porang, setara dengan 10 piring nasi putih. Nasi porang ini memang sangat recomended, tapi sayang harganya relative mahal. Buah porang sangat murah di Indonesia. Namun untuk bisa diproses menjadi butiran beras, yang siap saji, butuh teknologi modern.

Sayur dan buah adalah menu utama saya tiap hari. Tiap pagi, memakan jus buat tomat, mentimun dan wortel. Saya sebut makan, karena jus itu dibuat kasar, butuh sendok untuk memasukkan ke mulut saya. Tentu saja, diawal awal merasa berat. Tapi saya berusaha menikmatinya. Bakso, gule dan nasi goreng yang jadi favorit saya, harus saya tinggalkan. Saya tidak punya pilihan lain. Saya masih ingin hidup lebih lama. Saya sadar dengan merubah pola makan, tidak akan mengubah sumbatan yang menutup pembuluh jantung saya. Namun dengan merubah pola makan, saya hanya berharap tidak menambah beban timbunan plak di pembuluh darah. Saya juga ingin meringankan beban organ organ vital ditubuh saya. Saya berharap jika suatu saat saya berani CABG, tubuh saya dalam kondisi fit, tidak ada komorbit.

Perubahan pola makan ini mendapat dukungan penuh dari istri saya. Tiap hari dia sibuk membuat masakan khusus untuk saya. Istri jadi tersalurkan hobinya, berlama lama di dapur. Menu favorit saya, sambal dan lalapan. Plus tahu atau ikan laut di masak dengan air fryer, menggoreng tanpa minyak goreng. Jika saya ingin lauk goreng, biasanya putih telur atau ikan laut digoreng dengan minyak zaitun. Karena tiada hari tanpa sambal, tingkat level kepedasan juga terus meningkat. Sebelum sakit, sambal dengan lombok 4-5 sudah cukup. Namun terakhir, sambal dengan lombok 15 pun saya masih bisa menikmati dengan enak.

Selain perubahan pola makan, saya juga rutin mengkonsumsi obat pengencer darah, penurun kolesterol, penstabil tekanan darah, serta vitamin. Untungnya saya tidak mengkonsumsi rokok, kopi atau alkohol. Saya juga semakin rutin olah raga ringan, jalan santai di pagi hari. Penderita koroner itu serba salah. Di satu sisi tubuh harus tetap bergerak aktif dengan olah raga ringan agar jantung tetap dinamis. Namun di sisi lain, penderita koroner tidak boleh terlalu capek. Maka penderita koroner harus benar benar peka terhadap sinyal yang muncul dari dalam tubuhnya. 

Atas rekomendasi Dokter Afis, saya akhirnya menjalani terapi medis di RS Jantung Palimanan Cirebon, dengan program EECP alat medis buatan China. Terapi EEC (Enhanced External Counterpulsation) ini adalah terapi non invasive yang menggunakan manset pneumatic (3 manset dililitkan pada betis, paha dan pinggul) untuk meningkatkan aliran darah ke jantung. Manset akan begerak menekan keras menyesuaikan detak jantung yang dideteksi dari komputer. Program terapi EECP ini saya jalani selama 40 hari berturut turut. Tentu saja, saya harus hidup sebagai anak kos di Cirebon, ditemani driver saya, Samsul Arif.  Biasanya tiap jumat istri dan anak saya nyambangi ke Cirebon naik kereta api.

Selesai dari terapi di Cirebon, saya mencoba memulai aktivitas baru. Saya memutuskan untuk mengurangi 50 persen aktivitas. Saya mengundurkan diri dari semua kepengurusan institusi di mana saya aktif sebagai pengurus. Saya juga meminta staf untuk membatalkan beberapa project pelatihan dari berbagai instansi. Saya merasa benar-benar harus berhemat dengan kondisi jantung saya. Praktis, setahun saya hanya fokus aktivitas di ANDIKA Media. Biasanya jam 10 pagi ke kantor, sore pulang, malam full di rumah. Oh ya, saya juga makin aktif di Yayasan Miftahul Afkar, Selotopeng, Banyakan, Kediri. Di yayasan yang membawahi pendidikan MI dan MTs itulah saya kebetulan menjadi ketua. Itu jabatan sosial satu satunya yang tidak saya lepaskan. Bertemu dengan anak anak madrasah yang mayoritas dari kalangan bawah itulah yang membuat hidup saya lebih bermanfaat. Lebih menenangkan kalau sewaktu waktu jantung saya benar benar dihentikan Tuhan.

Hingga pada pertengahan 2023, setahun pasca kateterisasi yang gagal, saya merasa kondisinya “baik baik” saja. Perubahan pola makan membawa hasil positif. Hasil laborat menunjukkan fungsi ginjal, liver, kolesterol, tensi dll semua normal. Tubuh merasa lebih baik. Dan saya pun mulai bisa berdamai dengan jantung Koroner. Tapi tetap saya doktrin di pikiran saya, bahwa saya sakit jantung. Tujuannya, supaya saya membatasi diri, agar jantung saya tidak kedodoran. Sebab godaannya sangat besar. Contoh sederhana, dalam sebuah resepsi, saya hanya ambil menu sehat. Teman teman banyak yang menantang dan meremehkan, karena saya tidak berani ambil gule dan sate kambing berlemak. Tentu saja saya harus bertahan. Yang punya sakit jantung saya, yang merasakan saya. Yang ngomong itu enak, tapi tidak ikut menanggung risikonya.

Mereka tidak tahu, ada moment dimana saya merasa sesak, dada terjepit, kepala pusing dan badan kehilangan power. Saat itu, mungkin jantung saya sedang mengeluh, karena capek, sementara dia tidak dapat makan dan minum yang cukup. Tentu saja saya tidak pernah menceritakan momen-momen itu ke istri, anak, ataupun teman-teman di ANDIKA Media. Saya tidak ingin mereka khawatir. Saya cukup bersyukur kepada Allah SWT, tidak pernah ada serangan yang lebih berat dari itu. Karena itulah, saya selalu katakan ke semua orang, kondisi saya “baik-baik”saja.

Saya juga membatasi bepergian ke luar kota. Juga menghindari naik pesawat. Saya hanya bepergian dengan keluarga atau dengan rombongan crew Andika. Jika bepergian dengan keluarga dan crew Andika saya merasa nyaman karena mereka tahu bagaimana kesehatan saya. Bahkan saya sempat bersama crew ke Malaysia, dan bersama keluarga ke Singapura. Alhamdulillah, jantung saya aman, semua lancar.

Pernah kejadian, saat Ramadhan 2024, saya harus membuka acara Kasih Kita Untuk Yatim serta me-launching media online Kubus.ID di Barata Convention Center, Tulungagung. Sampai di lokasi acara, saya merasa ada sinyal, jantung saya kecapekan. Saya harus istirahat. Apalagi saya juga berpuasa. Iseng saya tanya PIC, dimana ruang VIP yang akan digunakan untuk buka bersama. Saya diantar untuk melihat. Saya minta izin untuk menunggu acara dimulai di ruangan itu. Saya tidak cerita pada asisten atau crew lain. Saya tidak ingin mereka mengkawatirkan saya. Alhamdulillah, 30 menit istirahat, kondisi saya sudah membaik saat acara dimulai. Saya masih bisa menyalami 300-an anak yatim dan menyerahkan uang donasi secara langsung. Sinyal yang dikirim jantung agar saya istirahat itu sering saya terima saat acara acara di internal ataupun eksternal Andika. Dan saya selalu saja mendapatkan jalan untuk mengelabui orang orang di sekitar saya.

Peristiwa yang sama terjadi saat saya menjadi inspektur upacara saat moment peringatan HUT RI di Halaman Andika Media Center, 17 Agustus 2024. Upacara itu untuk mengakomodir 500 an tukang becak yang ingin merasakan upacara agustusan. Saat pengibaran bendera, jantung saya kembali mengirim sinyal. Dada saya agak berdebar. Kepala saya pusing. Mungkin karena saya berdiri terlalu lama di atas podium. Selama bendera dikerek, saya pejamkan mata, saya tarik nafas dalam dalam. Saya baca ayat kursi. Saya lirik wajah wajah gembira tukang becak yang menyanyikan lagu Indonesia raya. Alhamdulillah, detak jantung saya perlahan teratur. Semua kembali normal hingga selesai acara.

Pada tahun 2024, saya mulai lebih berusaha keras untuk mencari kesembuhan. Tidak ada pilihan lain kecuali bedah jantung CABG  atau bypass. Motivasi untuk menjalani CABG itu makin menguat karena sinyal sinyal dari jantung saya yang capek main sering dikirim. Pusing dan ampeg di dada makin sering muncul. Saya tahu, jantung saya cukup kuat, layaknya ranger. Tapi kekuatan itu lama lama juga akan runtuh jika pasokan nutrisinya makin menipis. Maka saya harus CABG. Yang jadi permasalahan, di mana saya melakukan CABG?

Pilihan pertama, Penang. Promo berlebihan dan banyaknya tetsimoni tentang mudah, murah dan canggihnya teknologi kedokteran di rumah sakit Penang, menarik perhatian saya. Penang juga mudah dijangkau dari Surabaya. Tiap hari ada penerbangan langsung dari Surabaya ke Penang. Saya, istri dan anak juga sudah pernah ke Penang saat libur panjang. Komunikasi dengan beberapa agen kesehatan yang biasa melayani warga Indonesia berobat ke Penang sudah dilakukan. Namun setelah saya komunikasi dengan beberapa kawan dokter, termasuk adik saya, mereka menyarankan memilih CABG di Indonesia.  Lalu Penang pun batal.

Pada pertengahan 2024, saya mendapat kabar sedih, adik saya, Akip Hidayat,  juga divonis koroner akut. Upaya kateterisasi yang dilakukan dokter di RS Diagram Jakarta juga gagal memasang ring. Ada penyumbatan permanen di pembuluh darahnya. Bahkan dia cerita, 3 bulan sebelumnya sempat terkena serangan jantung dan pingsan cukup lama saat aktifitas di sekolahnya. Adik saya ini berprofesi guru, berdomisili di Ciputat Jakarta. Jadi, dari lima bersaudara, 3 laki laki  dan 2 perempuan, yang laki laki semua terkena jantung koroner. Saya, Akif serta almarhum kakak saya, Bastomi Azhar. Alhamdulillah, yang 2 perempuan sehat. Dokter bilang, memang ada faktor genetik.

Namun yang membuat saya kagum pada Akif, saat saya mash terus mencari referensi soal CABG, 3 bulan kemudian, Akif mengabari bahwa dia akan mendaftar CABG di RS Diagram (Grup Siloam) Cinere Jakarta dengan fasilitas BPJS Kesehatan. Awal November 2024, Akif akhirnya benar benar menjalani CABG, dan berhasil. Dokter Heston Napitupulu, Sp BTKV berhasil melakukan baypass, memasang pembuluh darah baru, melintasi sumbatan permanen di jantung Akif. Seminggu di RS Diagram Cinere, Akif boleh pulang, untuk menjalani masa pemulihan. Saat ini, setelah 4 bulan berlalu kondisinya sudah cukup sehat, sudah beraktifitas normal. Sudah bisa nyetir mobil luar kota, sudah bisa jadi imam tarawih.

Keberhasilan CABG Akif, membuat semangat saya menyala. Memasuki Desember 2024, saya makin termotivasi untuk CABG. Awalnya, saya ingin mengikuti jejak Akif, melakukan CABG di RS Diagram Cinere dengan operator Dokter Heston. CD rekaman hasil keteter di RS Persada saya mintakan konsul ke Dokter Heston lewat Akif. Menurut Dokter Heston, kondisi saya masih cukup bagus dan peluang besar untuk dilakukan CABG. Namun karena video kateter itu dibuat tahun 2022, Dokter Heston meminta dilakukan kateterisasi ulang sebelum CABG dilakukan.

Saat bersamaan, saya juga berdiskusi dengan sahabat baik saya Verry Virmansyah, CEO Suara Surabaya. Mas Verry saya ketahui berteman baik dengan Dr. Yan Efrata Sembiring, Sp. BTKV (K), ahli bedah Jantung, Paru dan Pembuluh Darah di Surabaya. Dari Mas Verry saya banyak mendapatkan insight. Sebenarnya, nama Yan Sembiring pernah saya dengar pada tahun 2016 dari Pak Hidayat, Komisaris Total Intermedia Malang. Saat itu, Almarhum Mas Hamim pernah disarankan untuk CABG ke Dokter Yan Sembiring. Alasannya sederhana, operasi CABG di Surabaya mudah dijangkau. Teknologinya juga sudah cukup modern. Surabaya yang dekat dengan Malang dinilai cukup pas dengan kondisi fisik Mas Hamim yang semakin menurun. Awalnya Mas Hamim mau. Namun akhirnya berubah haluan ke Penang setelah mendapatkan masukan dari keluarga. Sayangnya, Mas Hamim meninggal, seminggu menjelang keberangkatan ke Penang.  Menurut Pak Hidayat, Dokter Yan Sembiring itu “Bintang Lima”. Dia lebih mendorong saya ke Yan Sembiring dibanding ke Jakarta atau ke Penang.

Namun karena Desember saya terlanjur meng”iya”kan beberapa agenda rangkaian  Ultah Radio ANDIKA, saya baru bisa menemui Dokter Yan Sembiring pada  Februari 2025. Waktu menunggu itulah yang saya gunakan untuk memantapkan diri menjalani CABG. Dari literasi internasional, operasi bedah jantung CABG sangat direkomendasikan. Dengan dukungan teknologi yang canggih, tingkat keberhasilan CABG cukup tinggi, yaitu 98 persen. Artinya, 98  persen berhasil, 2 persen beruntung (saya tidak mau menyebut gagal).  Untuk meraih keberhasilan 98 persen, saya harus mendapatkan keyakinan dari kompetensi  dokter yang mengeksekusi.

Dokter Yan Sembiring mendalami bedah torak dan kardiovaskuler di Singapura dan Australia. Sebelumnya juga belajar di Jerman. Dia termasuk pioner dalam bedah jantung di Indonesia. Mulai menangani bedah jantung di RS Premier Surabaya pada tahun 2012. Jika diasumsikan seminggu saja dia melakukan 2 CABG, berarti dalam 13 tahun terakhir kira kira sudah melakukan  1.000 lebih operasi CABG. Itu angka yang fantastis. Artinya, jam terbangnya cukup tinggi. Pasiennya juga merata. Termuda 28 tahun, tertua 84. Namun rekor itu pecah, ketika hari terakhir menjelang saya pulang dari rumah sakit, Dokter Yan sukses melakukan CABG terhadap pasien berkebangsaan Amerika berusia 88 tahun di RS Mayapada Surabaya.

Soal kapasitas intelektual tidak perlu diragukan lagi. Dokter Yan juga seorang Doktor di FK UNAIR, dan saat ini sedang dinominasikan menjadi Rektor UNAIR. Karena itu, saya sangat percaya jantung saya dibedah oleh Dokter Yan Sembiring. Dari aspek teknis, saya optimis 98 persen persen CABG saya berhasil.

Lalu bagaimana dengan yang 2 persen keberuntungan CABG ? Saya berusaha keras meraihnya dengan memperbanyak doa, membayar hutang dan janji, serta berbuat baik di sisa waktu menjelang CABG dilakukan. Saya memohon dengan sangat pada Allah SWT agar operasi CABG saya lancar, pemulihannya cepat dan diberikan kehidupan baru yang lebih baik. Saya juga mengingat dengan keras apa apa saja yang pernah saya janjikan pada orang orang di sekitar saya. Saya berusaha keras untuk membayarnya. Saya merasa banyak hal hal kecil yang harus saya lakukan untuk memperbanyak energi positif agar tingkat keberhasilan CABG saya menjadi 100 persen.

10 Februari 2025, saya membuat janji bertemu dengan Dokter Yan Efrata Sembiring di RS Premier Surabaya. Selain di RS Premier, Dokter Yan juga berpraktek di RS Mayapada dan RS Dr Sutomo Surabaya. Kesan pertama bertemu cukup baik. Ketika melihat video rekaman hasil kateterisasi jantung saya di RS Persada Malang, Dokter Yan saya amati cukup tenang dan santai. Tidak ada tersirat guratan wajah yang menandakan ssesuatu yang berat. Jujur saya malah merasa lebih cemas ketika bertemu dengan perawat yang memeriksa tensi dan melihat gambar kondisi sumbatan pembuluh jantung saya. Komentarnya yang polos terkesan tidak memberikan dukungan, tapi malah memicu kecemasan saya.

Selesai mencermati monitor, Dokter Yan tersenyum dan bilang bahwa kondisinya memang membutuhkan CABG. Saya lega melihat ekspresi Dokter Yan. Saya bertanya untuk memastikan, apakah bisa dan aman untuk dilakukan CABG ?  Dokter Yan menjawab bisa. Peluangnya juga cukup baik. Dokter Yan hanya meminta saya untuk melakukan pemeriksaan USG sebelum CABG dilakukan. Tidak perlu kateter ulang. Menurutnya, meski  video itu dibuat 2 tahun lalu, berdasar pengalaman Dokter Yan, kemungkinan kondisinya tidak banyak berubah. Apalagi selama itu pula saya melakukan perubahan pola makan dan gaya hidup yang lebih sehat.

Rabu, 12 Februari 2025, saya melakukan USG jantung, dan bertemu kembali dengan Dokter Yan. Hasil USG, kondisi jantung saya masih cukup bagus. Tanpa berfikir panjang, saya bilang ke Dokter Yan, agar secepatnya dijadwalkan tindakan CABG. Awalnya, 18 Februari. Namun karena 19 Februari Dokter Yan ada agenda ke luar kota, maka digeser ke Rabu, 26 Februari 2025. Saya yang sudah pada tingkat kepedean tinggi, tanpa ragu langsung mengiyakan.

Ohya, sebelum keluar ruang praktek Dokter Yan, saya sempat bertanya, bagaimana jika saya melakukan CT Scan Jantung ? Dokter Yan menyambut baik, karena itu akan lebih memudahkannya saat mengerjakan penyambungan pembuluh jantung. CT Scan adalah pemeriksaan mnggunakan sinar X untuk melihat kondisi jantung dan pembuluh darah secara 3D. CT Scan bisa mendeteksi penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah jantung dengan akurasi yang cukup tinggi. Saya sengaja mengajukan CT Scan untuk makin memudahkan Dokter Yan dalam menangani situasi saat CABG berlangsung. Semula, saya kira CT Scan jantung hanya berupa pemotretan sinar X. Namun prakteknya, saat pemotretan berlangsung, tubuh dimasuki zat kontras yang dimasukkan lewat infus di pergelangan tangan. Terasa panas mulai dari leher hingga paha. Kapok saya. Untung prosesnya cepat, hanya sekitar 2 menit.

Senin, 24 Februari 2025, dua hari menjelang tindakan CABG, saya masuk masuk RS Premier untuk menjalani prosedur screening. Serangkaian pemeriksaan darah lengkap dilakukan. Termasuk persetujuan pemeriksaan darah bebas HIV AIDS. Alhamdulillah, kondisi kesehatan saya cukup baik. Tim dokter yang terdiri dari dokter jantung, dokter paru, dokter rehab medik serta tim terapi pasca operasi, setiap hari memberikan briefing. Saya menyimaknya baik baik. Saya ingin mengikuti semua arahan tim tanpa ada yang terlewat agar proses recovery pasca CABG berlangsung cepat. Saya juga dijelaskan tahapan dan proses CABG yang akan berlangsung. Terakhir, saya diajak room tour ke ruang ICU. Ditunjukkan sebuah ruang kaca, ruang VIP dimana saya akan sadar dan tinggal beberapa hari pasca operasi. Termasuk dikenalkan beberapa layar digital serta rangkaian kabel dan selang yang nanti akan terhubung ke tubuh saya. Kemudian saya minta agar tangan saya diikat saat dibawa ke ruang ICU. Saya kawatir, saat bangun dari pengaruh anestesi, secara tidak sadar mencabut selang di tubuh saya. Permintaan itu disanggupi oleh tim perawat ICU.

Rabu, 26 Februari 2025, hari yang saya nantikan dengan beragam drama selama hampir 3 tahun, akhirnya tiba. Jelang jam 9, perawat memberi tahu, sudah ada panggilan dari ruang operasi. Saya minta jalan kaki saja ke ruang operasi. Tapi perawat minta saya tetap berbaring diranjang, menuju ruang operasi, sesuai SOP rumah sakit. Saat berada di ruang transit, saya melihat wajah istri dan anak saya tegang. Apalagi arif, driver yang selama ini menempel kemanapun saya pergi, sangat cemas. Alhamdulillah, saya tidak terlalu tegang. Saya optimis prosesnya berjalan lancar. Saya sudah ikhtiar. Saatnya saya pasrah.

Sesaat kemudian, saya dibawa masuk ke ruang operasi. Suhunya dingin. Saya sempat meminta diselimuti. Saya sempat menghitung di ruangan itu ada sekitar 6 atau 7 orang anggota tim. Mereka sedang menyiapkan beberapa peralatan serta mengecek layar digital yang tidak saya pahami nama dan fungsinya. Sibuk pokoknya. Namun saya belum melihat keberadaan Dokter Yan Sembiring. Dokter anestesi memberi tahu saya saat akan memasang infus di area siku, serta selang kecil di pergelangan tangan untuk memasukkan anestesi. Saya bilang, kalau mau dianestesi, agar saya diberitahu supaya bersiap. Tapi ternyata permintaan saya tidak dianggap serius. Buktinya, saat dokter anestesi memegang area pergelangan tangan saya, tiba tiba saya sudah tidak ingat apa apa sama sekali. Tertidur lelap. Pulas.

Saya belum tahu berapa lama saya tertidur pulas. Tiba tiba saya merasa seperti ada yang membangunkan. “Pak Rofik ayo bangun, operasi sudah selesai. Saya siapa?”, katanya memanggil saya. Dalam kondisi masih teler berat pengaruh anestesi, saya hafal suara itu.

“Dokter Yan”, jawabnya
“Saya siapa”, satu orang lagi bertanya.
“Dokter anestesi”, jawab saya,. Saya hafal suaranya, tapi lupa namanya.
“Kalau saya siapa”, disusul suara lain lagi.
Tentu saja, saya sangat hafal, suara istri saya.

Terakhir suara Dokter Aris, adik saya yang baru datang dari Malang saat operasi sudah berlangsung, juga bisa saya tebak.

Setelah itu saya tidak bisa menahan kantuk. Mata saya masih sulit saya buka. Pokoknya saya ingin tidur lagi. Lega karena operasi sudah selesai.

Menjelang magrib, saya terbangun. Kesadaran saya sudah pulih total. Dari istri saya tahu kalau operasi saya berlangsung sekitar 5 jam. Itu termasuk prepare, pelaksanaan hingga observasi dan dipindah ke ICU. Itu adalah waktu standar untuk operasi CABG. Perlahan saya tengok kanan kiri, melihat situasi ruangan. Terus terang saya penasaran dengan jumlah selang dan kabel yang dimasukkan atau ditempelkan ke tubuh saya. Saya tengok tangan kanan ada 2 selang, infus dan anestesi. Satu selang saya rasakan di pembuangan urin. Ada dua selang di perut untuk membuang kotoran bekas operasi. Serta ada selang di area dada kiri yang saya belum faham fungsinya untuk apa. Di bawah leher juga terdapat selang bercabang 3, menembus pembuluh darah menuju jantung. Dari selang ini semua obat obatan dimasukkan. Di jari jempol tangan kiri juga ada kabel dengan lampu indicator. Di dada kiri juga ada beberapa tempelan kabel terhubung layar monitor.  Lalu terakhir seperti pasien umumnya, ada selang oksigen di hidung saya.

Oh ya, ada lagi yang menjadi ketakutan saya. Soal selang ventilator. Selang ventilator dipasangkan ke mulut pasien menembus area pernafasan saat pasien mulai dibius.  Biasanya, selang ventilator dilepaskan, 2-3 jam setelah pasien sadar dan bisa bernafas dengan baik. Saya sempat bertanya pada perawat, kapan selang di mulut saya dilepaskan. Sambil tersenyum perawat bilang, selang sudah dicabut sebelum saya dibangunkan. Alhamdulillah, plong.

Saya juga penasaran dengan kondisi kaki saya. Saya ingin tahu, kondisi kaki saya, pasca disayat dan diambil beberapa pembuluh darah, untuk digunakan bypass dipasangkan di jantung saya. Saya penasaran apakah kaki saya masih sekuat sebelum operasi. Tapi saya tidak bisa menengok bebas kebawah. Yang saya rasakan, kedua kaki saya dibungkus ketat dengan bandage. Namun saya bersyukur, tidak terasa sakit di kedua kaki. Mungkin karena pengaruh obat pereda nyeri yang dimasukan.  Demikian juga di area dada. Sebelum operasi saya menyiapkan diri untuk menahan rasa sakit di area dada. Saya membayangkan, beberapa tulang iga dipotong, kemudian disambung kembali dengan kawat khusus yang ditanam permanen. Tidak mungkin rasanya tidak sakit. Pengalaman saya terkena sayatan silet saja sakitnya seminggu masih terasa. Ini dada yang dibedah. Namun kekawatiran saya tidak terjadi. Sejak masuk ICU hingga berada di ruang perawatan, saya merasa nyaman nyaman saja. Bohong kalau saya bilang tidak sakit sama sekali. Tapi cuma sedikit. Jauh dibawah bayangan saya. Mungkin dari skala 1-10, sakitnya berkisar 2-4 saja. Teknologi kedokteran dan perkembangan obat medis saat ini memang sudah sangat maju.

Malam pertama di ruang ICU saya lewati dengan baik. Meski tidak bisa tidur lelap, namun saya bisa istirahat dengan nyaman. Sepanjang malam saya bisa melihat kesibukan perawat ICU yang memasukkan obat, memeriksa atau mencatat data data dari layar digital. Sesekali saya melihat jam sambil berharap malam berganti pagi. Saya berharap masa kritis yang berlangsung 2 hari bisa segera lewat. Hari kedua di ICU, Dokter Anestesi melakukan visite. Lalu melepaskan selang anestesi di pergelangan tangan saya. Alhamdulillah. Lalu Dokter Jefry, ahli jantung datang dan menyapa saya. Tentu dia sudah membaca data data terakhir yang diinput perawat ICU. Dia bilang kondisi saya pasca operasi cukup stabil. Demikian pula dengan dokter paru, juga menyatakan kondisi paru saya cukup baik. Sekali lagi Alhamdulillah.

Agak siang, Dokter Yan melakukan visite, memeriksa bekas luka di dada dan kaki. Lalu dia melepaskan 2 selang yang berada di perut saya. Sakit sedikit.  Untuk ketiga kalinya, saya bilang Alhamdulillah. Pada sore harinya, Dokter Yan kembali muncul, untuk melepaskan selang yang menancap di dada kiri saya. Kali ini saya benar benar merasa plong.

Hari ketiga di ICU, saya merasa dapat surprise. Lewat official smartphone ruang ICU, Dokter Yan Video Call. Seorang perawat menunjukan pada saya. Dokter Yan menyapa saya dan bilang, agak siang baru bisa visite. Saya lihat Dokter Yan sedang lari pagi. Saya bilang, “Semoga suatu saat kita nanti bisa lari bareng ya dok?”.  Dokter Yan menyanggupinya sambil tertawa. Dalam persepsi saya, dokter satu ini memang benar benar “bintang lima”, paket komplit. Kompetensinya OK, intelektualitas OK, experience nya luar bisa, model komunikasinya juga sangat baik.

Setelah itu, dokter rehabilitasi medik dan tim muncul. Mereka mengajari saya bagaimana cara bangkit dari ranjang, duduk, dan berdiri. Meski masih agak kawatir dengan kondisi bekas operasi di dada, saya berusaha patuh. Sejak awal saya bertekat, kalau sakitnya tidak terlalu sangat, saya akan menahan. Saya patuhi dan ikuti semua petunjuk tim medis. Alhamdulillah, saya bisa bangkit dari ranjang, lalu duduk, dan terakhir bisa berdiri dengan baik. Bahkan bisa jalan maju mundur di samping ranjang.

Bersama tim rehab medik
Bersama tim rehab medik (Redaksi)

Hari itu, selang infus dilepas. Saya harus makan banyak karena tidak lagi mendapatkan pasokan nutrisi dari infus. Itu momen agak berat. Meskipun tiap hari diberikan beragam pilihan menu, saya tetap tidak selera. Lidah masih terasa hambar, leher kaku, sulit dipakai mengunyah dan menelan. Itu salah salah satu efek dari operasi besar. Setelah kabel di dada dan jempol dilepas, berarti tinggal tersisa selang yang menancap di leher serta selang di saluran urin. Selang dileher itu sejak hari kedua sebenarnya sudah tidak difungsikan. Namun sengaja tidak dilepas untuk antisipasi jika terjadi kondisi emergency. Selang itulah yang terhubung langsung ke jatung.

Setelah observasi, saya digeser kamar perawatan. Di ruang perawatan, hari hari lebih banyak saya lalui bersama tim rehab medik. Saya berlatih pernafasan, berlatih berdiri, berlatih jalan menyusuri lorong rumah sakit. Hari berikutnya, saya diajak berjalan lebh jauh lagi hingga ke halaman rumah sakit melewati tangga naik dan turun. Latihan ini ditujukan agar saya benar benar bisa mandiri saat pulang ke rumah. Oh ya, ada juga latihan ke toilet. Ini latihan paling berat yang saya rasakan. Hingga 3 kali ke toilet, saya gagal BAB. Hampir semua pasien CABG, mengalami kesulitan BAB. Bagaimana tidak sulit ?  Meski perut berasa pengen BAB, pasien dilarang keras menahan nafas atau mengejan. Mengejan sangat berbahaya bagi jantung yang baru dibedah. Tentu saja, sayapun takut mengejan. Namun setelah dipicu dengan obat pencahar, akhirnya saya bisa BAB juga. Lega dan plong rasanya. Habis itu saya langsung minta dibelikan soto ayam dan bakso dari café RS Premier.

Rabu, 5 Maret 2025, Alhamdulillah saya sudah diperbolehkan pulang. Hasil oberservasi akhir, kondisi saya cukup stabil, seluruh organ berfunsgi dengan baik. Hasil foto Xray, kondisi jantung juga sudah normal. Dokter Yan  memeriksa luka di dada dan kedua kaki saya. Perawat mengganti perban. Terakhir, Dokter Yan mencabut selang dari area leher saya yang dipasang saat operasi. Jujur saya takut. Dokter mengajak ngobrol saya tentang berbagai hal. Lalu saya tanya padanya, kapan selang saya dicabut. Ternyata, tanpa saya sadari, selang sudah dilepas. Yang membuat saya kaget, selang kecil yang masuk dari leher menuju jantung tersebut, ternyata cukup panjang, sekitar 20 cm.

Pengalaman CABG ini tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup. Tidak pernah terfikir sama sekali saya akan mengalaminya dan bisa melaluinya dengan baik. Saya merasa beruntung bisa mendapat kesembuhan. Tentu masih sangat banyak penderita jantung koroner yang tidak mendapatkan peluang kesembuhan melalui CABG. Saya banyak berteman dengan dokter spesialis jantung. Ratusan pasien jantung coroner, ketika disarankan untuk pasang ring, besoknya sudah tidak kembali. Apalagi jika sampai disarankan untuk CABG. Padahal saat ini, ring maupun CABG adalah tindakan satu satunya di dunia kedokteran yang direkomendasikan.

Namun saya menyadari. Untuk CABG butuh ikhtiar yang luar biasa. Bukan Cuma soal biayanya yang relative besar. Tapi juga tekat dan nyali. Operasi ini tentu saja beresiko. Operasi CABG juga hanya bisa dilakukan di kota kota besar, karena ketiadaan Dokter Spesialis Bedah Torak Dan Kardiovaskuler – Sp BTKV. Bahkan di propinsi luar jawa, masih sedikit rumah sakit yang melayani CABG. Di RS Premier dan RS Mayapada Surabaya, banyak pasien CABG dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Kalimantan, Bali dan Irian Jaya. Kalau di Jakarta, jumlah dokter Sp BTKV tentu lebih banyak. Biaya operasi CABG di Jakarta lebih murah di banding Surabaya. Namun bagi orang Jawa Timur, jika biaya CABG diakumulasi dengan biaya transportasi dan akomodasi selama di Jakarta, tentu biayanya jadi relative sama dengan CABG di Surabaya.

Bagaimana dengan CABG di Penang Malaysia yang pernah viral itu? Saya sudah pernah ke Penang. Saya juga sudah mempelajarinya. Orang sering membandingkan pelayanan rumah sakit di Penang dengan rumah sakit di Indonesia. Penang dianggap lebih baik. Menurut saya persepsi itu belum tentu benar. Sebab perbandingannya sering tidak apple to apple. Kalau Gleneagles Hospital, Island Hospital dan Penang Adventist Hospital dibandingkan dengan RSUD atau rumah sakit plat merah di Indonesia, ya memang harus diakui pelayanan mereka lebih baik.  Orang Indonesia berobat ke Penang dengan biaya mandiri. Sedangkan pasien RSUD dan RS plat merah mayoritas memakai fasilitas BPJS.  Ya wajar kalau pelayanan terhadap pasien masih kalah jauh. Namun jika perbandingannya apple to apple, dengan rumah sakit swasta di Indonesia, macam Siloam Hosptal, Mayapada dan Premier, menurut saya sama saja.

Bagaimana dengan soal kompetensi doker yang melakukan CABG ? Kualitas dokter BTKV di Indonesia tidak kalah. Apalagi mayoritas juga produk pendidikan elit di luar negeri, macam Jerman, Singapura dan Australia. Kita juga bisa lebih mudah mencari referensi dokter Indonesia dibanding dokter di Penang. Dan yang paling penting adalah perawatan pasca operasi. CABG adalah operasi besar. Perawatan sistematis dan instensif pasca operasi sangat direkomendasikan. Saya memilih CABG di Surabaya dengan pertimbangan tersebut. Seminggu sekali saya bisa kontrol ke Dokter Yan. Saya juga bisa dengan mudah WA meminta advis Dokter Yan saat saya merasakan sesuatu yang tidak wajar. Itu jauh lebih menenangkan saya dibanding jika saya CABG di Penang.

Saat saya kontrol pertama, Kamis 13 Maret 2025, ada pasien yang berobat ke Dokter Yan. Kondisinya masih belum cukup baik. Padahal dia melakukan CABG pada Januari 2025, atau sudah dua bulan berlalu. Dari penjelasan Dokter Yan dan perawat saya kaget, ternyata pasien bapak itu tidak melakukan CABG di RS Premier, tapi di Penang Malaysia. Lukanya masih belum sembuh. Jalannya tertatih dengan tangan bertumpu tongkat penyangga. Dokter Yan menyarankan agar si bapak kembali berobat ke Penang, untuk mendapatkan pelayanan lanjutan. Setelah masa pemulihan selesai, dan saya sudah diperbolehkan beraktifitas normal, nantinya saya ingin terhubung dengan orang orang yang menderita jantung koroner, baik yang terhimpun di komunitas atau perorangan. Saya ingin menyemangati mereka. Saya ingin mengambil peran agar mereka tetap memiliki ikhtiar sembuh.

Foto sehat bersama Dr Yan Efrata Sembiring Sp BTKV saat kontrol pertama Kamis 13 Maret 2025
Foto sehat bersama Dr Yan Efrata Sembiring Sp BTKV saat kontrol pertama, Kamis 13 Maret 2025 (Redaksi)


Data jumlah penderita jantung koroner di Indonesia semakin meningkat. Gaya hidup yang tidak sehat dan tingginya stress menjadi salah satu faktor jantung koroner. Banyak penderita yang abai. Sudah divonis koroner masih sok sehat. Pola makannya tidak berubah. Atau sebaliknya, setelah divonis koroner, langsung mengunci diri, pasrah tanpa melanjutkan pengobatan. Padahal, masih banyak ikhtiar medis yang bisa dilakukan. Saya dan adik saya adalah contoh nyata dan baru. Saya CABG memakai biaya mandiri. Adik saya karena keterbatasan biaya menjalani CABG dengan fasilitas BPJS Kesehatan. Kami sama sama memiliki semangat untuk bertahan hidup. Berjuang mencari kesembuhan hingga mentok. Ingin terbebas dari derita koroner. Alhamdulillah, hasilnya sama sama baik.  Semoga Allah berikan kami kebaikan dalam menjalani hidup selanjutnya.(daf/adr)

8 KOMENTAR

  1. Bapak Rofik Huda menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang leader, meski sakit tidak pernah sambat di hadapan tim dan masih beraktivitas seperti biasanya, seolah dikuat-kuatkan.

    Comeback stronger, pak Rofik. Salam hormat kami, keluarga besar Pewarta Network, di mana siaran Radio Andika selalu menemani aktivitas kami di kantor dalam membuat karya.

  2. Alhamdulillah semua lancar, semoga Bapak Rofik terus sehat. Saya berdasarkan hadil kateter jantung juga mengalami penyumbatan 100% di satu pembuluh darah jantung, dua yang lainnya alhamdulillah tdk terjadi penyumbatan. Waktu itu saya kateter di RS Siloam, disarankan utk ke RS Dr Sutomo utk tindakan lanjutannya, tidak saya tindak lanjuti, krn saya takut, saya sudah pasrah ke Allah SWT. Saya kateter Nopember 2023, alhamdulillah sampai saat ini Allah masih memberi kesempatan utk lebih banyak berbuat baik dan hidup sehat meski tdk boleh capek.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini