Beranda Gaya Hidup Jadilah Teladan, Begini Cara Membimbing Anak Mengelola Marah

Jadilah Teladan, Begini Cara Membimbing Anak Mengelola Marah

2

KUBUS.ID – Anak-anak bagaikan cermin. Mereka menyerap dan memantulkan apa saja yang mereka lihat dan dengar di sekitarnya. Itulah mengapa sikap orang dewasa, baik yang positif maupun negatif, bisa dengan mudah ditiru oleh anak. Termasuk ketika mereka melihat orang dewasa marah—baik secara langsung di rumah maupun melalui tayangan televisi, media sosial, hingga percakapan sehari-hari.

Di tengah kondisi sosial-politik yang panas, sering kali anak-anak tanpa sengaja menyaksikan adegan kericuhan, hujatan, atau kata-kata kasar. Jika dibiarkan tanpa penjelasan, anak mungkin menganggap kemarahan adalah hal yang wajar dan normal dilakukan setiap kali menghadapi perbedaan.

Psikolog anak dan remaja, Vera Itabiliana Hadiwidjojo, S.Psi., menjelaskan bahwa orangtua memegang peranan kunci dalam membantu anak memahami emosi—baik emosi mereka sendiri maupun orang lain. “Tugas orangtua bukan hanya memberi tahu mana yang benar dan salah, tetapi juga melatih anak agar mampu mengelola perasaan dengan sehat,” ujar Vera.

Lalu, apa saja langkah yang bisa dilakukan orangtua agar anak tidak sekadar meniru amarah orang dewasa?

1. Validasi perasaan anak lebih dulu

Anak-anak sering kali bingung dengan perasaan mereka sendiri. Saat melihat pertengkaran atau orang dewasa marah, mereka bisa merasa takut, cemas, bahkan bingung harus bersikap seperti apa. Dalam situasi ini, penting bagi orangtua untuk memvalidasi perasaan anak terlebih dahulu.

Alih-alih langsung menasihati atau berkata “Ah, jangan takut, itu biasa saja”, orangtua sebaiknya mengakui emosi anak dengan kalimat sederhana, seperti:

  • “Kamu merasa takut ya lihat orang teriak-teriak?”
  • “Sepertinya kamu jadi sedih waktu mendengar orang saling marah.”

Validasi semacam ini membuat anak merasa dipahami dan dihargai. Setelah anak merasa aman, barulah orangtua bisa memberikan penjelasan lebih lanjut.

2. Gunakan bahasa sederhana yang sesuai usia

Tidak semua anak mampu mencerna penjelasan yang rumit. Karena itu, orangtua perlu menyesuaikan bahasa dengan usia dan tingkat pemahaman anak.

Untuk anak usia dini, cukup jelaskan bahwa marah adalah perasaan yang wajar, tetapi cara marah dengan berteriak atau berkata kasar tidak baik. Sementara untuk anak yang lebih besar, orangtua bisa menjelaskan bahwa konflik sering muncul karena adanya perbedaan pendapat, dan ada banyak cara sehat untuk menyelesaikannya.

Contoh penjelasan yang bisa digunakan:
“Kadang orang berbeda pendapat, dan itu membuat mereka kesal. Tapi marah dengan cara teriak-teriak bukanlah cara yang baik. Kita bisa memilih untuk bicara dengan tenang supaya masalah cepat selesai.”

3. Tawarkan alternatif positif sebagai solusi

Setelah menjelaskan, jangan berhenti di situ. Orangtua perlu memberikan alternatif cara menghadapi perbedaan. Anak akan lebih mudah belajar jika ditunjukkan pilihan konkret yang bisa ia tiru.

Misalnya:

  • “Kalau kita berbeda pendapat, kita bisa saling mendengarkan dulu.”
  • “Kalau merasa kesal, lebih baik tarik napas dulu sebelum bicara.”
  • “Kalau bingung, kita bisa meminta bantuan orang lain untuk menengahi.”

Dengan cara ini, anak belajar bahwa konflik tidak selalu berarti pertengkaran. Mereka akan paham bahwa masalah bisa diselesaikan lewat komunikasi yang sehat, bukan dengan kekerasan atau amarah berlebihan.

4. Jadi teladan nyata dalam kehidupan sehari-hari

Anak-anak belajar lebih banyak dari apa yang mereka lihat ketimbang apa yang mereka dengar. Maka, penjelasan lisan dari orangtua harus sejalan dengan perilaku sehari-hari.

Jika orangtua sering marah-marah di rumah, sulit bagi anak untuk meniru ketenangan. Sebaliknya, ketika orangtua mampu mengelola emosi dengan baik, anak akan meniru sikap tersebut secara alami.

Beberapa contoh sederhana:

  • Tetap berbicara dengan suara tenang saat menghadapi masalah rumah tangga.
  • Menunjukkan sikap ramah kepada orang lain, bahkan kepada orang yang berbeda pendapat.
  • Membantu tetangga atau orang lain yang sedang kesulitan tanpa mengeluh.
  • Menyelesaikan perbedaan dengan diskusi, bukan adu argumen yang penuh emosi.

“Kalau orangtua mampu mengendalikan diri dan memperlihatkan sikap tenang, anak akan menjadikan itu sebagai standar perilaku yang normal,” kata Vera.

5. Ajak anak melatih empati dan kontrol diri

Selain memberikan teladan, penting juga bagi orangtua untuk melatih anak agar terbiasa berempati. Misalnya dengan bertanya:

  • “Menurut kamu, bagaimana perasaan orang yang dimarahi tadi?”
  • “Kalau kamu yang dimarahi dengan keras, apa yang kamu rasakan?”

Pertanyaan semacam ini membantu anak belajar melihat suatu situasi dari perspektif orang lain. Dari sinilah empati tumbuh. Ditambah dengan latihan kontrol diri—seperti menarik napas, menghitung sampai sepuluh, atau menulis perasaan di buku—anak akan memiliki bekal yang kuat untuk mengelola emosinya sendiri.

6. Bekal berharga untuk masa depan anak

Mengajarkan anak untuk tidak meniru amarah orang dewasa bukan sekadar melindungi mereka dari perilaku agresif. Lebih dari itu, ini adalah investasi jangka panjang bagi kehidupan sosial dan emosional mereka.

Anak yang terbiasa belajar empati, komunikasi sehat, dan kontrol diri akan:

  • Lebih mudah membangun hubungan yang harmonis.
  • Dipercaya oleh orang lain karena mampu bersikap bijak.
  • Tidak mudah terprovokasi dalam situasi konflik.
  • Lebih tenang dalam mengambil keputusan.

Dengan keterampilan ini, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang matang, kuat secara emosional, dan mampu menghadapi tantangan hidup dengan lebih baik.

Setiap anak pasti pernah menyaksikan amarah orang dewasa. Namun, dengan pendampingan yang tepat, orangtua bisa mengubah momen itu menjadi sarana pembelajaran. Anak tidak hanya belajar membedakan mana perilaku yang baik dan buruk, tetapi juga mendapat bekal berharga untuk tumbuh menjadi pribadi yang bijak, penuh empati, dan mampu mengelola emosi dengan sehat. (thw)

Source: kompas.com

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini