KUBUS.ID – Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyampaikan keprihatinan mendalam atas meninggalnya seorang siswa SMPN 19 Tangerang Selatan Banten yang diduga menjadi korban perundungan berat oleh teman-temannya sendiri. Peristiwa ini bukan hanya menyayat hati, tetapi juga menjadi penanda bahwa sekolah-sekolah kita sedang berada dalam kondisi darurat kekerasan.
Korban sempat dirawat akibat luka serius, namun nyawanya tidak tertolong. Fakta bahwa kekerasan yang mematikan ini terjadi di lingkungan sekolah, yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi anak, menunjukkan kegagalan sistemik negara dalam melindungi peserta didik.
Ubaid Matraji, Koordinator Nasional JPPI mengatakan, lebih tragis lagi, tindakan kekerasan ini ternyata bukan kejadian baru. Informasi yang muncul mengindikasikan bahwa praktik perundungan telah berlangsung sejak Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) pada bulan Juli, dan tidak ada intervensi nyata dari sekolah maupun satgas pencegahan kekerasan. Sekarang sudah bulan November, artinya ada pembiaran selama berbulan-bulan sebelum akhirnya anak tersebut kehilangan nyawanya.
“Ini bukan sekadar kelalaian, tetapi bentuk nyata kegagalan negara memastikan sekolah aman. Anak kehilangan nyawa, dan itu terjadi setelah berbulan-bulan pembiaran,” tegas Ubaid Matraji, Koordinator Nasional JPPI.
JPPI mendesak pemerintah pusat (Kemendikdasmen) dan daerah (Pemda/Pemkot dan Dinas Pendidikan) untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Satgas yang dibentuk pemerintah dianggap tidak menjalankan mandatnya dengan baik.
“Selama ini kinerja Satgas tidak jelas. Anggotanya menerima fasilitas dan anggaran, tetapi hasil kerjanya tidak terlihat. Kasus-kasus kekerasan justru meningkat. JPPI meminta agar tidak ada lagi pejabat yang makan gaji buta dalam isu yang menyangkut keselamatan anak,” ujar Ubaid.
Selain satgas daerah, JPPI juga menyoroti lemahnya kinerja Tim Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan (TPPK) di sekolah. TPPK dinilai hanya dibentuk untuk memenuhi persyaratan administratif, tetapi tidak bekerja efektif. Banyak kasus yang tidak ditangani dengan serius, pelapor tidak didampingi, dan korban tidak mendapatkan perlindungan.
“Jika TPPK bekerja sebagaimana mestinya, tidak mungkin kita terus melihat korban berjatuhan seperti sekarang. Ini kejadian tidak hanya terjadi di Tangsel, tapi banyak terjadi di berbagai daerah. Jadi jangan sampai tambah banyak korban berjatuhan,” tambahnya.
JPPI menegaskan bahwa Kepala Sekolah adalah penanggung jawab utama keamanan peserta didik di lingkungan sekolah. Karena itu JPPI meminta agar kepala sekolah yang gagal menjaga keselamatan anak mundur dari jabatannya.
“Jika ada anak yang menjadi korban kekerasan sampai kehilangan nyawa, itu bukan sekadar kelalaian. Itu kegagalan kepemimpinan. Kepala sekolah harus punya sense of crisis dan mengambil tanggung jawab moral, termasuk mengundurkan diri,” kata Ubaid.
JPPI mengingatkan bahwa sekolah seharusnya menjadi ruang aman, ramah, dan mendidik bagi semua anak. Kekerasan yang terus berulang menunjukkan ada masalah serius dalam manajemen sekolah, pengawasan pemerintah, serta lemahnya implementasi regulasi perlindungan anak yang sudah ada.
Karena itu, JPPI menyerukan :
- Evaluasi total Satgas kekerasan di provinsi dan kabupaten/kota.
- Evaluasi menyeluruh TPPK di sekolah.
- Kepela sekolah harus mengundurkan diri sebagai bentuk tanggung jawab atas gagalnya perlindungan anak di sekolah.
- Penerapan sistem pengawasan, pelaporan, dan perlindungan korban.
- Penguatan edukasi tentang apa itu kekerasan dan bagaimana pencegahan serta penanggulangannya.
“Hari ini anak-anak kita tidak aman di sekolah. Jika negara tidak segera bertindak, maka tragedi akan terus berulang. Anak-anak harus diselamatkan sekarang juga.” Ubaid Matraji, Koordinator Nasional JPPI.(atc/ikj)
































