Beranda Opini Lebaran Journey

Lebaran Journey

216

Oleh: Abdul Rohman Sukardi

Lebaran Ketupat telah berlalu bagi masyarakat Trenggalek Jatim. Rabu kemarin. Tepatnya hari ke delapan Syawal. Ialah perayaan atau tasyakuran selesaianya “tirakat laku papat”. Atau selesainya empat proses tempaan spiritual. Maka disimbolisasi melalui makanan ketupat yang bersudut empat. “Kupat”. Laku Papat.

Pertama, tempaan ibadah puasa Ramadhan dan ibadah pengiring. Seperti intensitas membaca Al Qurán (tadarus), sholat tarawih, sholat tahajud, i’tikaf, kajian-kajian kegamaan, dzikir, dan lain-lain. Puasa Ramadhan merupakan tempaan untuk meningkatkan ketaqwaan seseorang.

Kedua, membayar zakat fitrah. Secara sepiritual zakat merupakan pembersih jiwa. Terdapat keterangan keagamaan jika amal ibadah Ramadhan seseorang akan tergantung di langit ketika belum dibayar zakatnya. Secara sosial melekat tanggung jawab orang-orang yang berkecukupan terhadap orang-orang yang memerlukan. Ada tanggung jawab sosial dalam turut mewujudkan keadilan ekonomi. Kasus kelaparan tentu bisa dihindarkan jika peradaban zakat ini benar-benar diterapkan.

Ketiga, sholat iedul fithri. Didahului Takbir-Tahmid-Tahlil semalam suntuk. Kita kenal sebagai malam “takbiran”. Merupakan ekspresi rasa suyukur kepada Allah Swt. Pencipta kehidupan. Bahwa kita telah diberi kesempatan “quality time” secara spiritual selama Ramadhan. Untuk mendulang sebanyak mungkin tabungan kebaikan. Juga berlatih atau menempa diri menjadi manusia yang semakin baik, semakin berkualitas, melalui beragam disiplin peribadatan.

Sholat Ied dilanjut dengan acara silaturahmi. Mempererat kohesivitas sosial. Saling bermaafan satu sama lain. Menyeimbangkan diri sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial. Untuk terciptanya ta’awun, gotong royong, membangun masyarakat yang baik.

Budaya silaturahmi juga meluruhkan social barriers. Meruntuhkan egosentrisme, saling curiga, potensi pertengkaran dan konflik antar sesama. Sejarah telah membuktikan bahwa social barriers ini telah menjadi alat picu efektif dari perang dalam sejarah peradaban manusia yang panjang.

Keempat, puasa syawal selama 6 hari. Islam mengajarkan bahwa puasa Syawal 6 hari setelah puasa Ramadhan, bisa setara nilainya dengan puasa setahun. Maka bagi masyarakat tertentu, membiasakan puasa Syawal antara tanggal 2 sampai dengan 7 Syawal. Pada hari ke delapan Syawal melakukan tasyakuran atas selesainya 4 rangkaian proses spiritual itu.

Tasyakuran itu disimbolkan dengan makanan ketupat atau kupat dalam bahasa Jawa. Satu metode penyajian nasi padat melalui bungkus ketupat bersudut empat. Maka lebaran kupat disebut “kupatan” atau “lebaran laku papat”.

Tradisi lebaran di Trenggalek masih terkategorikan kuat bobot tradisi silaturahminya. Anjangsana antar keluarga untuk saling minta maaf. Berhari-hari.

Berbeda dengan sejumlah daerah lain di Indonesia. Momen lebaran hanya berlangsung pada hari pertama. Selebihnya dimanfaatkan sebagai libur wisata.

Hari pertama lebaran, usai tasyakuran dan bermaafan dengan jamaah sholat ied di Masjid, biasanya melakukan prosesi sungkeman. Atau memohon maaf kepada orang tua kandung. Dilanjutkan makan-makan sesuai menu tradisi keluarga kecil masing-masing.

Usai acara keluarga, secara bekelompok saling berkunjung dari rumah ke rumah di lingkungan terdekat. Lingkupnya bisa satu dua gang, atau satu lingkungan. Jika tidak bentrok dengan tamu yang lain, biasanya berhenti barang 5 menit di rumah yang dikunjungi. Bagi yang tidak berpuasa, mencicipi hidangan tuan rumah. Acara itu bisa sampai malam hari. Walau sudah bertemu atau sudah dikunjungi, ada tradisi untuk mengunjungi balik rumah yang belum dikunjungi.

Hari kedua, biasanya berkunjung kepada keluarga yang agak jauh. Bisa tetangga desa atau tetangga kecamatan. Selain mengunjungi saudara kandung yang berbeda lokasi tempat tinggal, juga mengunjungi saudara kakek-nenek yang masih hidup. Fokus hari kedua lebaran mengunjungi saudara dekat yang berbeda lokasi tempat tinggal dari lingkungan atau desanya.

Hari ketiga dan keempat, biasanya reuni keluarga. Dari keluarga ibu maupun bapaknya. Termasuk dari keluarga jauh biasanya berkumpul.

Run down acara reuni, selain silaturahmi juga dilakukan doa. Tahlil. Kepada para leluhur atau kakek moyangnya yang sudah wafat. Bisa dikatakan sebagai acara haul tahunan. Doa para anak dan cucu kepada keluarganya yang sudah wafat. Biasanya diselingi ceramah agama, atau sekedar me- review keluarga besarnya. Memperkenalkan siapa nenek moyangnya, siapa saudara-saudaranya, siapa saja tambahan anggota keluarga baru (yang lahir). Jika dihitung dari garis kakek saja, biasanya anggotanya sudah mencapai ratusan orang. Acara ini biasanya mengumpulkan saudara-saudaranya yang telah berdiaspora ke berbagai kota.

Selain doa pada para pendahulu keluarga, reuni keluarga juga merekatkan anggota keluarga yang tidak saling kenal. Pada titik ekstrim, bisa menghindarkan kasus pernikahan antar anggota keluarga (yang sebenarnya tidak boleh untuk menikah) akibat ketidaktahuan hubungan persaudaraan.

Pada hari lebaran ke 5-6-7, biasanya dilanjutkan silaturahmi kepada keluarga jauh yang dituakan dan teman-teman dekat. Guru, kyai, tokoh masyarakat. Maupun teman-teman sekolah dan sepermainan. Terkadang juga diselenggarakan reuni sekolah. Hari ke- 8 merupakan acara puncak lebaran ketupat. Lebaran “laku papat”.

Silaturahmi terkadang masih berlanjut setelah kupatan/lebaran ketupat. Khususnya para orang-orang yang dituakan yang tidak memiliki waktu keluar rumah selama 8 hari lebaran. Ia sibuk menerima tamu dalam rentang waktu itu. Kini ia ganti mengunjungungi kolega-koleganya yang masih hidup.

Jurnal lebaran tidak sama pada masing-masing keluarga. Akan tetapi pada prinsipnya hampir mirip. Biasanya juga diselingi acara lain. Seperti menghadiri openhouse, atau undangan-undangan reuni.

Lebaran di Trenggalek masih padat content silaturahmi. Menjalaninya seperti membaca buku jurnal perjalanan. Setiap kegiatan mirip lembaran-lembaran buku. Banyak cerita, pengalaman, maupun kisah-kisah baru. Bisa menjadi healing tahunan di tengah dunia modern yang semakin mekanis dan individualis.

Daerah-daerah tertentu tradisinya sudah bergeser. Lebaran kilat. Hari pertama saja silaturahmi. Selebihnya meramaikan “tourism package”. Daerah-daerah itu sepertinya perlu mengevaluasi lagi. Bahwa healing yang efektif itu ialah silaturahmi tanpa henti.

Bagaimana jurnal lebaran kalian?

ARS ([email protected]), Jaksel 20-04-2024

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini