KUBUS.ID – Fenomena soft life dan quiet living tengah menjadi sorotan sebagai bentuk perlawanan halus terhadap tekanan hidup modern. Di tengah tuntutan produktivitas tanpa henti, meningkatnya biaya hidup, hingga kondisi sosial yang kian bising secara mental, generasi muda memilih langkah berbeda: hidup lebih pelan, lebih lembut, dan lebih selaras dengan batas diri.
Jika beberapa tahun lalu kehidupan glamor, hustle culture, dan pencapaian materi menjadi standar keberhasilan, kini gelombang baru justru bergerak sebaliknya. Hidup “cukup”, tenang, dan jauh dari hiruk-pikuk menjadi aspirasi. Fenomena ini bukan sekadar tren media sosial — ini adalah perubahan struktural dalam preferensi hidup.
Apa Itu Soft Life dan Quiet Living?
Soft Life
Merujuk pada gaya hidup yang mengutamakan kenyamanan, ketenangan, dan keseimbangan emosional. Fokusnya bukan kemewahan, tetapi hidup tanpa tekanan berlebihan, membatasi stres, dan memprioritaskan kesehatan mental.
Quiet Living
Lebih menekankan kehidupan sederhana, pelan, dan minim stimulasi. Biasanya terlihat pada:
- memilih tinggal jauh dari kota besar,
- menurunkan intensitas sosial digital,
- menikmati ritme hidup yang lambat,
- fokus pada kualitas, bukan kuantitas.
Keduanya berakar pada keinginan untuk mengambil kembali kendali hidup dari tuntutan sosial yang semakin melelahkan.
Mengapa Fenomena Ini Muncul?
1. Keletihan Kolektif Setelah Pandemi
Pandemi mengubah cara generasi muda melihat hidup. Kini, kesehatan mental dan stabilitas lebih diutamakan daripada ambisi berlebihan.
2. Penolakan Terhadap Hustle Culture
Narasi “bekerja keras selagi muda” mulai ditinggalkan. Banyak anak muda merasa tidak sebanding antara kerja keras dengan timbal balik finansial maupun emosional.
3. Biaya Hidup yang Melonjak
Generasi muda semakin realistis: mengejar standar hidup tinggi membutuhkan biaya besar. Soft life menjadi bentuk kompromi — hidup nyaman tanpa memaksakan kemewahan.
4. Overstimulasi Digital dan Informasi
Arus media sosial, berita, dan informasi tidak pernah berhenti. Quiet living menjadi cara menenangkan dorongan konstan untuk terus “ada”.
5. Krisis Identitas dan Pencarian Makna Hidup
Generasi muda lebih introspektif. Mereka memilih kualitas hidup dan kedamaian dibanding pengakuan eksternal.
Bagaimana Fenomena Ini Mempengaruhi Perilaku Sosial?
1. Perubahan Pola Konsumsi
Anak muda mulai:
- membeli lebih sedikit barang,
- lebih memilih pengalaman daripada harta,
- mengutamakan kesehatan, wellness, dan self-care,
- memilih produk lokal, slow fashion, dan gaya hidup minimalis.
2. Pergeseran Gaya Kerja
- minat terhadap remote work meningkat,
- jam kerja fleksibel makin dicari,
- tolakan terhadap lembur tanpa kompensasi,
- kenaikan fenomena “take it slow career path”.
3. Kehidupan Sosial yang Lebih Selektif
Pertemanan lebih kecil, interaksi digital lebih terfilter, dan aktivitas offline yang lebih bermakna lebih diprioritaskan.
Perspektif dari Berbagai Sudut
– Perspektif Sosiolog
Fenomena soft life dan quiet living dianggap bentuk adaptasi masyarakat urban terhadap tekanan modernitas. Ini adalah “gerakan sunyi” melawan kapitalisme yang menuntut produktivitas ekstrem.
– Perspektif Psikolog
Psikolog melihat ini sebagai upaya sehat untuk memulihkan regulasi emosi. Namun, jika berlebihan, soft life dapat memicu avoidance behavior, yakni kecenderungan menghindar dari tantangan.
– Perspektif Ekonomi
Pergeseran gaya hidup memengaruhi pola konsumsi: industri self-care, wellness, dan gaya hidup sederhana diprediksi terus berkembang, sementara sektor konsumtif-mewah bisa melambat.
– Perspektif Budaya Pop
Media sosial memperkuat tren ini melalui konten “hidup tenang” yang estetik. Munculnya komunitas slow living dan minimalist living menunjukkan perubahan preferensi publik.
Prediksi Fenomena Soft Life & Quiet Living ke Depannya
1. Semakin Menguat sebagai Gaya Hidup Jangka Panjang
Fenomena ini bukan tren sementara. Laporan global menunjukkan peningkatan pencarian kata kunci “slow living”, “soft life”, dan “quiet luxury” secara konsisten dalam tiga tahun terakhir.
2. Munculnya Industri Baru
- produk wellness, aromaterapi, dan spa,
- retreat desa dan wisata sunyi,
- konten creator slow living,
- coworking space di area pinggiran.
3. Perubahan Mindset Karier
Generasi Z dan generasi Alpha diprediksi akan membawa paradigma “bekerja secukupnya” dan “hidup seperlunya” sebagai standar baru. Perusahaan perlu menyesuaikan diri.
4. Meningkatnya Pindah Kota ke Area Lebih Tenang
Urban outflow atau perpindahan dari kota besar ke kota kecil/distrik pinggiran akan meningkat, seiring kebutuhan udara bersih dan hidup tanpa hiruk-pikuk.
5. Risiko yang Perlu Diwaspadai
- potensi menghindari tanggung jawab,
- minimnya tantangan menghambat perkembangan diri,
- risiko generasi apatis,
- dampak ke produktivitas nasional jika tren ini tidak diimbangi kecerdasan finansial.
Normalisasi soft life dan quiet living menunjukkan bahwa generasi muda bukan malas, mereka lelah dengan standar hidup modern yang tidak manusiawi. Mereka menginginkan hidup yang lebih tenang, realistis, dan seimbang.
Fenomena ini akan terus berkembang, menjadi bagian dari identitas sosial baru, dan memengaruhi ekonomi, budaya, hingga struktur pekerjaan masa depan. Dunia kerja dan masyarakat harus memahami bahwa perubahan ini adalah sinyal kuat bahwa manusia ingin kembali menjadi manusia, bukan mesin produktivitas. (thw)
































