Beranda Opini Pertanggungjawaban Orang Gila Dalam Membunuh Anaknya: Tinjauan Hukum Pidana

Pertanggungjawaban Orang Gila Dalam Membunuh Anaknya: Tinjauan Hukum Pidana

2273

Oleh: Dr. Zainal Arifin, SS, M.PdI, SH, MH Dekan FH Uniska Kediri

Kasus pembunuhan yang dilakukan oleh individu dengan gangguan jiwa menimbulkan tantangan hukum yang kompleks, terutama terkait dengan pertanggungjawaban pidana. Dalam hukum pidana Indonesia, kondisi kejiwaan pelaku sangat menentukan apakah yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya. Artikel ini membahas pertanggungjawaban hukum orang dengan gangguan jiwa dalam kasus pembunuhan terhadap anaknya, berdasarkan perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan contoh kasus konkret serta peran ahli kejiwaan dalam menentukan kapasitas tanggung jawab pelaku. Kata kunci: dalam makalah ini adalah adanya gangguan jiwa, pertanggungjawaban pidana, pembunuhan, anak, dan hukum pidana

Pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang dengan gangguan jiwa menjadi isu krusial dalam sistem peradilan pidana. Masyarakat seringkali terkejut dan bertanya-tanya bagaimana hukum harus berperan dalam kasus ini, mengingat keterbatasan pelaku untuk memahami akibat perbuatannya. Di Indonesia, pertanggungjawaban pidana seseorang sangat bergantung pada kondisi psikologisnya saat melakukan tindak pidana.

Secara umum pasal  338 KUHP, mengantur tentang jerat hukum pada pelaku pembunuhan, “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun. Pasal tersebut secara rinci menetapkan adanya  Unsur subjektif, yakni dengan sengaja (Openzetteijk)  dan Unsur Objektif, yakni menghilangkan (Beroven), nyawa (Leven), orang lain (Een ander).  Pasal tersebut mengatur pada siapapun yang melakukan pembunuhan, sedangkan bagi pelaku yang mengalami gangguan jiwa diatur tersendiri.

Di  Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur bahwa seseorang yang dianggap tidak mampu bertanggung jawab atas tindakannya karena gangguan jiwa dapat dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana. Artikel ini akan membahas penerapan pasal tersebut dalam kasus pembunuhan anak oleh orang tua yang mengalami gangguan jiwa dengan menggunakan contoh konkret untuk memperjelas penerapan hukum.

Pasal 44 KUHP menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan pertanggungjawaban pelaku dengan gangguan jiwa. Pasal ini menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dipidana jika saat melakukan tindakan pidana tidak memiliki kemampuan untuk memahami sifat melawan hukum dari perbuatannya, baik karena gangguan jiwa maupun kelainan mental. Dalam hal ini, pembuktian adanya gangguan jiwa membutuhkan bantuan dari ahli kejiwaan atau psikiater yang kompeten untuk menilai kondisi mental pelaku pada saat terjadinya tindak pidana.

Ahli kejiwaan memberikan keterangan di persidangan mengenai kondisi mental pelaku, apakah pelaku benar-benar mengalami gangguan jiwa yang menghilangkan kemampuannya untuk bertanggung jawab secara hukum. Dalam konteks pembunuhan anak, diperlukan penelaahan mendalam untuk memastikan bahwa tindakan tersebut adalah akibat langsung dari gangguan mental dan bukan karena motivasi lain yang mungkin tidak terkait dengan kondisi kejiwaan.

Misalkan Ketika pelaku melaksanakan eksekusi, apakah pelaku merasa  apa yang ada di hadapannya itu konkrit, seperti, gara gara anaknya menangis  terus menerus dan minta jajan, kemudian orang tua  secara sadar melakukan penganiayaan hingga menyebabkan kematian, ataukah saat melakukan  kesekusi yang di eksekusi atau di aniaya itu  bukan nampak anaknya, tetapi nampak seperti hewan. Maka psikolog harus memeriksa pelaku, sebelum di lakukan penyidikan, benar-benar sehat secara jiwa atau mengalami ganggguan jiwa, karena itu penyidik harus  koordinasi dengan ahli jiwa dalam menangangi kasus  pembunuhan yang diduga dilakukan oleh orang dengan gangguan jiwa yang kadang gila kadang sembuh.

Sebagai contoh konkret, kita dapat merujuk pada kasus yang terjadi di Bali pada tahun 2018. Seorang ibu bernama Sri Astuti membunuh kedua anaknya yang berusia 3 dan 6 tahun.  Setelah proses penyidikan, diketahui bahwa pelaku telah lama mengalami depresi berat dan gangguan kejiwaan setelah ditinggal oleh suaminya. Dalam persidangan, tim psikiater yang dihadirkan sebagai saksi ahli menyatakan bahwa pelaku berada dalam kondisi psikosis akut saat melakukan pembunuhan tersebut. Berdasarkan keterangan ahli, hakim memutuskan bahwa Sri Astuti tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana sesuai dengan Pasal 44 KUHP. Pelaku kemudian ditempatkan di rumah sakit jiwa untuk mendapatkan perawatan hingga dinyatakan stabil.

Kasus lain yang relevan adalah kasus seorang ayah di Tangerang pada tahun 2021 yang membunuh anaknya yang berusia 7 tahun. Sang ayah, yang diketahui memiliki riwayat skizofrenia, membunuh anaknya dalam keadaan delusi berat, di mana ia percaya bahwa anaknya adalah ancaman yang dikendalikan oleh kekuatan gaib. Psikiater yang menangani kasus ini memberikan kesaksian bahwa pelaku tidak menyadari tindakan tersebut sebagai kejahatan karena berada dalam kondisi tidak waras. Pelaku akhirnya diputuskan untuk menjalani perawatan di rumah sakit jiwa alih-alih dijatuhi hukuman pidana.

Pembunuhan anak oleh orang tua yang mengalami gangguan jiwa menimbulkan dilema hukum dan sosial. Di satu sisi, hukum pidana mengakui bahwa orang yang tidak waras tidak bisa dimintai pertanggungjawaban layaknya orang sehat. Di sisi lain, masyarakat menginginkan keadilan bagi korban, terutama jika yang menjadi korban adalah anak-anak yang dianggap rentan. Pasal 44 KUHP memberikan perlindungan hukum bagi pelaku dengan gangguan jiwa, namun proses pembuktian yang melibatkan psikiater sangat krusial dalam menentukan apakah pelaku memang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.

Selain aspek pidana, sistem perawatan kesehatan mental memainkan peran penting dalam menangani pelaku yang terbukti mengalami gangguan jiwa. Pelaku yang dinyatakan tidak bertanggung jawab secara pidana dapat ditempatkan di rumah sakit jiwa hingga kondisi mentalnya membaik, meskipun mereka mungkin tidak akan sepenuhnya bebas kembali ke masyarakat.

Pertanggungjawaban pidana orang dengan gangguan jiwa dalam kasus pembunuhan anaknya menuntut pendekatan yang seimbang antara keadilan bagi korban dan perlindungan hukum bagi pelaku. Pasal 44 KUHP memberikan dasar hukum untuk membebaskan individu dengan gangguan jiwa dari pertanggungjawaban pidana, tetapi tetap ada kebutuhan untuk menjamin bahwa pelaku tidak membahayakan orang lain. Contoh kasus konkret menunjukkan bahwa keputusan pengadilan sangat bergantung pada kesaksian ahli kejiwaan. Oleh karena itu, sinergi antara hukum pidana dan sistem kesehatan mental sangat penting untuk menangani kasus-kasus seperti ini secara adil dan manusiawi.

Referensi

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Badan Pembinaan Hukum Nasional. (2010). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 123/Pid.B/2018/PN.Dps terkait kasus pembunuhan anak oleh Sri Astuti.

Nasution, R. (2021). Psikiatri Forensik: Aspek Hukum dan Kejiwaan dalam Sistem Peradilan Pidana. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini