Beranda Nasional JPPI Soroti Kacau-Balaunya Administrasi Program MBG: Dasar Hukum Belum Ada, Anggaran Tak...

JPPI Soroti Kacau-Balaunya Administrasi Program MBG: Dasar Hukum Belum Ada, Anggaran Tak Transparan

538
Ubaid Matraji - Koordinator Nasional JPPI

KUBUS.ID — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diklaim sukses oleh pemerintah justru dinilai amburadul secara administrasi oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI). Hingga pertengahan Oktober 2025, program yang telah menyedot dana triliunan rupiah itu disebut belum memiliki dasar hukum yang jelas, perencanaan keuangannya buruk, dan pelaksanaannya tidak transparan.

Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, mengungkapkan bahwa hingga kini, draf Peraturan Presiden (Perpres) yang menjadi landasan hukum MBG belum disahkan. Lebih dari itu, isi draf pun belum pernah dibuka ke publik dan disusun tanpa melibatkan masyarakat sipil. “Pelaksanaan program sebesar ini mestinya tidak dijalankan tanpa payung hukum yang sah. Ini bukan hanya soal teknis, tapi menyangkut prinsip akuntabilitas dan tata kelola negara,” kata Ubaid dalam keterangannya, Minggu (20/10).

Kekacauan administrasi juga tampak dari keputusan Badan Gizi Nasional (BGN) yang mengembalikan anggaran sebesar Rp70 triliun ke kas negara. Menurut JPPI, langkah ini bukan menunjukkan efisiensi seperti yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto, melainkan mencerminkan buruknya perencanaan. Ubaid menyebut banyak Sentra Produksi Pangan Gizi (SPPG) justru tutup sementara karena belum menerima pencairan dana. Sejumlah dapur MBG di daerah seperti Lebak, Sleman, Gunung Kidul, Wonosobo, Jepara, Polewali Mandar, dan Denpasar dilaporkan berhenti beroperasi.

Situasi ini, menurut JPPI, makin memperkuat dugaan bahwa pelaksanaan MBG hanya dikebut secara politis tanpa kesiapan sistem yang memadai. Ironisnya, di tengah kekacauan administrasi tersebut, Presiden tetap mengklaim bahwa program berhasil 99,9 persen, dengan menyebut angka keracunan yang sangat kecil sebagai bukti kesuksesan.

Namun, di lapangan, fakta justru menunjukkan sebaliknya. JPPI mencatat sejak September hingga 19 Oktober 2025, jumlah anak yang mengalami keracunan akibat konsumsi makanan MBG mencapai 13.168 kasus. Dalam sepekan terakhir saja, dari 13 hingga 19 Oktober, terdapat 1.602 anak yang keracunan, naik signifikan dari pekan sebelumnya sebanyak 1.084 kasus.

Lima provinsi dengan jumlah kasus tertinggi meliputi Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Barat. JPPI menduga banyak kasus tidak tercatat secara resmi karena sekolah-sekolah ditekan untuk tidak menyampaikan laporan. Bahkan ditemukan praktik pemaksaan penandatanganan surat pernyataan yang mewajibkan pihak sekolah merahasiakan kasus keracunan. Ubaid menduga surat tersebut memiliki format yang seragam, sehingga kuat kemungkinan merupakan instruksi sistematis dari pelaksana program.

Selain persoalan hukum dan keuangan, JPPI juga menyoroti ketimpangan distribusi makanan. Menurut Ubaid, banyak anak di wilayah tertinggal belum menerima manfaat program, sementara anak-anak di kota besar—yang justru lebih mampu—sudah mendapatkan jatah makanan bergizi. Ini menunjukkan bahwa perencanaan dan prioritas program tidak berpihak pada kelompok yang paling membutuhkan.

JPPI juga menyebut ada dugaan konflik kepentingan dan praktik kolusi antara pengelola SPPG, yayasan, serta mitra penyedia makanan. Pemotongan harga porsi, lemahnya pengawasan, serta keterlibatan aparat dalam struktur pengadaan menjadi ruang gelap yang hingga kini belum dibuka ke publik.

Atas berbagai temuan tersebut, JPPI mendesak pemerintah untuk menghentikan sementara program MBG hingga dasar hukum ditetapkan, sistem distribusi dibenahi, dan standar keamanan pangan benar-benar diterapkan. JPPI juga meminta dibentuknya tim investigasi independen untuk mengungkap kasus keracunan serta audit menyeluruh terhadap anggaran dan pelaksanaan program.

“Keberhasilan bukan diukur dari klaim angka yang dikemas rapi. Keberhasilan nyata adalah ketika setiap anak Indonesia benar-benar mendapatkan makanan bergizi yang aman, adil, dan bebas dari manipulasi. Tanpa administrasi yang bersih, program ini hanya jadi alat propaganda,” tegas Ubaid. (nhd)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini