
KUBUS.ID – Gerakan “Stop Tot Tot Wuk Wuk” yang belakangan viral di media sosial mendapat atensi dari berbagai kalangan. Salah satunya datang dari Wahyudi Kurniawan, S.H., M.H.Li, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) sekaligus Direktur Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBHAP) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
Menurut Wahyudi, gerakan tersebut merupakan bentuk ekspresi masyarakat yang resah terhadap maraknya penyalahgunaan strobo dan sirine di jalan raya. Apalagi banyak ditemukan strobo itu digunakan pejabat tanpa pengawalan kepolisian. Akhirnya warga mengekspresikan diri dengan melakukan gerakan penolakan itu.
“Ini adalah reaksi publik yang melihat kondisi bangsa secara makro. Masyarakat melihat bahwa penggunaan strobo dan rotator tidak pada tempatnya, bahkan cenderung disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu,” kata Wahyudi.
Ia menegaskan bahwa penggunaan sirine dan strobo sebenarnya telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Aturannya sudah ada. Hanya kendaraan tertentu yang berhak menggunakan sirine dan lampu isyarat, dan itu pun hanya dalam kondisi darurat.
Aturannya sesuai UU itu menuliskan kendaraan yang diizinkan ada mobil polisi dengan lampu warna biru + sirine, Ambulans dan mobil pemadam kebakaran menggunakan lampu merah + sirine, Mobil Patroli jalan tol lampu kuning tanpa sirine serta kendaraan pejabat negara menggunakan lampu biru + sirine.
Lebih lanjut, Wahyudi menjelaskan bahwa penggunaan strobo dan sirine milik pejabat tanpa pengawalan resmi merupakan pelanggaran terhadap regulasi.
“Jika ada pejabat menggunakan strobo dan sirine tanpa pengawalan resmi dari kepolisian, maka itu sudah termasuk pelanggaran hukum. Bahkan kepolisian memiliki kewenangan untuk mencopot strobo yang tidak sesuai ketentuan,” tambahnya.
Terkait sanksi, Wahyudi menyebutkan bahwa UU telah mengatur dua jenis sanksi, yakni pidana ringan dan denda administratif. Di sana sanksinya sudah jelas. Selain pidana ringan, juga bisa berupa denda. Semua pihak harus tunduk pada aturan ini, termasuk pejabat negara.
Ia menambahkan fenomena “Tot Tot Wuk Wuk” mencerminkan respons spontan masyarakat terhadap ketidakadilan di jalan raya. Ia mengingatkan bahwa bila aspirasi masyarakat ini tidak ditanggapi serius oleh pihak berwenang, maka potensi konflik sosial akan semakin besar. Namun sebaliknya, bila pemerintah dan aparat memberikan atensi dan tindak lanjut yang konkret, maka masyarakat akan memberi apresiasi.
“Ini soal keadilan sosial di ruang publik. Jika aturan ditegakkan secara adil, kepercayaan masyarakat kepada hukum dan negara akan tumbuh. Tapi jika yang melanggar justru dibiarkan, maka gerakan seperti ini akan terus muncul,” pungkas Wahyudi. (far)