KUBUS.ID – Di era digital yang serba cepat, masa depan media lokal tidak lagi ditentukan oleh siapa yang paling besar, melainkan siapa yang paling relevan bagi publiknya.
“Audiens berpindah ke media sosial, dan iklan ikut berpindah ke sana. Kalau media tidak menguasai distribusi dan teknologi, maka akan tertinggal,” kata Suwarjono, CEO Arkadia Digital Media Tbk saat menjadi pembicara dalam Bengkulu Media Summit (BMS) 2025, Rabu (12/11/2025
Menurut Suwarjono, tantangan terbesar media saat ini bukan lagi sekadar mencari pembaca, tetapi bertahan di tengah disrupsi teknologi dan persaingan algoritma.
Ia menyebut dominasi raksasa digital seperti Google, Meta, dan TikTok membuat pendapatan iklan media lokal terus menurun. Karena itu, media harus berani menciptakan sumber pendapatan baru di luar iklan dan trafik.
“Kita harus berinovasi. Media bisa mengembangkan event, pelatihan, kolaborasi, hingga riset lokal. Jangan terpaku pada satu model bisnis,” ujarnya.
Suwarjono mendorong media lokal untuk menjadi ‘jembatan ekosistem lokal’ atau ruang interaksi antara komunitas, UMKM, lembaga donor, dan pemerintah daerah.
“Kekuatan media lokal ada pada kedekatan dan kepercayaan. Itu modal besar untuk membangun ekosistem bisnis berkelanjutan,” tambahnya.
Ia menegaskan, tidak ada satu rumus bisnis yang cocok untuk semua media.
“Ada seratus media, mungkin ada seratus model bisnis. Tapi kuncinya sama: inovasi tanpa henti, adaptasi, dan kolaborasi,” katanya.
Sementara itu, Eva Danayanti, Country Programme Manager International Media Support (IMS) menekankan bahwa kekuatan media lokal terletak pada kedekatan emosional dengan publiknya.
“Menjadi lokal bukan berarti kecil. Menjadi lokal berarti dekat, dipercaya, dan berdampak,” ujarnya dalam sesi bertajuk “Masa Depan Media Lokal: Relevansi, Bukan Skala.”
Menurutnya, cerita-cerita lokal memiliki kekuatan yang unik yang mampu membangkitkan rasa memiliki dan solidaritas sosial.
“Cerita nasional bisa viral, tapi yang lokal itu membekas,” tegas Eva.
Eva menilai media lokal perlu mempraktikkan jurnalisme konstruktif, yaitu jurnalisme yang tidak berhenti pada pelaporan masalah, tetapi juga menawarkan solusi dan inspirasi.
“Jurnalisme konstruktif bukan berarti manis-manis, tapi jujur dan membangun. Fokusnya bukan pada siapa yang salah, tapi apa yang bisa dilakukan,” jelasnya.
Ia menambahkan, ukuran keberhasilan media di masa depan bukan lagi jumlah pengikut atau skala bisnis, tetapi tingkat relevansinya bagi kehidupan masyarakat.
“Relevansi itulah skala baru bagi media lokal,” pungkasnya.
Bengkulu Media Summit (BMS) 2025 merupakan forum yang mempertemukan pengelola media lokal se-Provinsi Bengkulu menghadirkan lima narasumber nasional. Selain Suwarjono dan Eva Danayanti, hadir pula tiga pembicara lainnya Dwi Eko Lokononto, CEO BeritaJatim.com, Asep Saefullah, Program Manager Local Media Community (LMC) dan Dimas Sagita dari Suara.com. Dua narasumber lokal turut memperkuat diskusi, yakni Iyud Dwi Mursito dari Bengkulu Network dan Heri Aprizal, Business Manager RakyatBengkulu.com.(adr)





























