KUBUS.ID — Dalam satu dekade terakhir, media sosial berkembang menjadi salah satu kekuatan paling berpengaruh dalam membentuk perilaku konsumsi masyarakat. Dari mode, kecantikan, kuliner, hingga gaya hidup sehari-hari, berbagai tren yang viral di Instagram, TikTok, dan YouTube ikut menggeser cara publik memandang kebutuhan dan keinginan.
Fenomena meningkatnya gaya hidup konsumtif akibat exposure media sosial kini menjadi sorotan. Bukan hanya karena tingginya angka transaksi digital, tetapi juga karena perubahan kultur, psikologis, dan sosial yang menyertainya.
Ledakan Media Sosial dan Budaya Konsumsi Baru
Tingginya penetrasi internet dan smartphone mendorong perubahan pola perilaku masyarakat. Dengan lebih dari miliaran konten yang beredar setiap hari, pengguna dipapar oleh arus informasi yang sekaligus berfungsi sebagai iklan, referensi, dan standar hidup baru.
Media sosial menghadirkan budaya visual baru yang sangat kuat. Feeds yang dikurasi rapi, konten estetik, dan narasi “hidup ideal” menjadikan gaya hidup konsumtif semakin dianggap wajar.
“Media sosial bukan hanya platform komunikasi, tetapi juga etalase gaya hidup,” ujar seorang peneliti tren digital. “Hal yang sederhana seperti kopi kekinian atau pakaian warna tertentu bisa tiba-tiba menjadi kebutuhan sosial.”
Peran Algoritma: Mesin yang Mendorong Konsumsi
Di balik layar, algoritma bekerja sebagai pengarah minat. Konten yang pernah diakses pengguna akan diperkuat kemunculannya di linimasa. Hal ini membuat individu “terjebak” dalam lingkaran informasi yang konsisten mendorong konsumsi.
Fenomena ini disebut filter bubble konsumsi, yaitu kondisi ketika seseorang terus-menerus menerima stimulus belanja yang sesuai preferensi mereka, sehingga keputusan pembelian menjadi lebih impulsif.
Fitur-fitur seperti one-click purchase, notifikasi diskon, hingga iklan yang disesuaikan minat pengguna membuat transaksi menjadi sangat mudah, bahkan tanpa pemikiran rasional.
Influencer dan Creator Economy: Kekuatan Baru Penggerak Belanja
Influencer memainkan peran sentral. Mereka bukan hanya pembuat konten, tetapi representasi gaya hidup dan aspirasi masyarakat.
Riset menunjukkan bahwa rekomendasi influencer dianggap lebih terpercaya karena dikemas dalam bentuk narasi personal: seolah-olah mereka berbagi pengalaman, bukan menjual produk.
Fitur seperti:
- affiliate link,
- live shopping,
- promosi berbayar,
- soft-selling lewat daily vlog,
menjadikan setiap konten punya potensi komersial.
Keuntungan bagi industri jelas besar. UMKM hingga brand besar dapat menjangkau konsumen dengan biaya relatif murah. Namun, bagi konsumen, batas antara hiburan dan iklan menjadi semakin kabur.
Dampak Positif: Ekonomi Digital Tumbuh Pesat
Terlepas dari kritik, gaya hidup konsumtif membawa dampak positif bagi perkembangan ekonomi digital.
1. Peningkatan penjualan produk lokal dan UMKM
Banyak pelaku usaha kecil yang berhasil naik kelas berkat video viral atau ulasan influencer.
2. Peluang kerja baru
Industri kreator menjadi salah satu sektor pekerjaan paling berkembang:
- content creator,
- digital marketer,
- video editor,
- brand ambassador,
- social media strategist.
3. Akses informasi dan transparansi produk meningkat
Konsumen bisa membandingkan ratusan ulasan sebelum membeli, yang sebelumnya sulit dilakukan pada era pra-digital.
4. Inovasi produk terus berkembang
Tren cepat memaksa produsen menyesuaikan kebutuhan pasar, menghasilkan lebih banyak pilihan bagi konsumen.
Dampak Negatif: Tekanan Sosial dan Krisis Finansial Baru
Namun, di sisi lain, gaya hidup konsumtif memunculkan berbagai konsekuensi serius.
1. Perbandingan Sosial dan Tekanan Psikologis
Pengguna sering merasa hidupnya “kurang” jika tidak mampu mengikuti gaya hidup influencer. Hal ini memicu:
- insecure,
- stres sosial,
- rendah diri,
- kecanduan konten tren.
Apa yang dipamerkan di media sosial sering kali hanya sisi terbaik kehidupan, namun diterima publik sebagai standar.
2. Konsumerisme Berlebihan
Banyak pengguna membeli barang bukan berdasarkan kebutuhan, melainkan karena tren viral atau tekanan sosial.
Fenomena haul belanja, check out bareng, dan wishlist bulanan menjadi normalisasi konsumsi berlebihan.
3. Risiko Keuangan dan Utang Digital
Kemudahan paylater hingga cicilan tanpa kartu kredit membuat banyak orang tidak sadar terjebak dalam utang konsumtif.
Generasi muda menjadi kelompok paling rentan karena:
- kontrol diri yang belum matang,
- tekanan gaya hidup,
- kurangnya literasi keuangan,
- paparan konten yang intens.
4. Dampak Lingkungan
Tren cepat membuat barang mudah dibuang. Sektor fast fashion dan package-heavy products menjadi penyumbang limbah terbesar dalam beberapa tahun terakhir.
Analisis Fenomena dari Berbagai Sudut
Aspek Psikologis
Media sosial mendorong mentalitas “instant gratification”, yakni kecenderungan mencari kesenangan cepat melalui pembelian barang.
Pembelian menjadi sarana mengelola emosi: dari stres, lelah, hingga FOMO (fear of missing out).
Aspek Sosial Budaya
Status sosial kini banyak ditentukan dari penampilan digital. Seseorang dianggap relevan jika:
- mengikuti tren fashion terbaru,
- memiliki gadget terkini,
- berkunjung ke tempat yang sedang viral.
Identitas digital menjadi penentu cara seseorang dipersepsikan.
Aspek Ekonomi
Konsumsi yang tinggi mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi menciptakan ketergantungan pada tren. Individu menjadi bagian dari siklus “beli–pakai–buang–beli lagi”.
Aspek Teknologi
Iklan berbasis AI semakin presisi: ia mengenali jam belanja pengguna, minat, hingga lokasi. Semakin akurat sebuah iklan, semakin besar peluang pengguna melakukan transaksi.
Aspek Lingkungan
Limbah pakaian, plastik, hingga barang elektronik meningkat. Konsumsi cepat tidak sebanding dengan kecepatan daur ulang di lapangan.
Mengapa Fenomena Ini Semakin Menguat?
- Target market adalah generasi digital native yang hidup di tengah budaya viral.
- Tren berubah sangat cepat, menciptakan urgensi untuk selalu mengikuti.
- Gaya hidup minimalis tergeser oleh budaya estetik dan lifestyle branding.
- Belanja menjadi bentuk koping stres, terutama di kota besar.
- Budaya reward diri (“self-reward”) distorsi menjadi konsumsi berlebihan.
Konsumsi di Era Digital Perlu Kesadaran Baru
Gaya hidup konsumtif yang dipicu media sosial adalah fenomena multidimensi. Ia tumbuh seiring perkembangan teknologi, ekonomi kreator, dan tekanan sosial dalam kehidupan digital.
Di satu sisi, tren konsumtif menghidupkan ekonomi digital dan membuka peluang besar bagi kreativitas. Namun di sisi lain, ia mengancam kesehatan psikologis, finansial, dan lingkungan.
Para ahli menilai bahwa literasi digital dan literasi finansial menjadi kunci utama agar masyarakat mampu bersikap kritis terhadap paparan konten media sosial.
Pada akhirnya, kesadaran individu untuk membedakan kebutuhan dan keinginan menjadi langkah penting agar konsumsi tetap berada di jalur sehat, tanpa terjebak dalam tekanan gaya hidup yang dibentuk oleh dunia digital. (thw)






























