KUBUS.ID – Dua warga negara Indonesia menggugat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 ke Mahkamah Konstitusi (MK), meminta agar skema pensiun seumur hidup bagi anggota DPR RI dihapus. Gugatan ini menuai sorotan karena mengkritisi ketimpangan antara hak pensiun anggota dewan dan pekerja biasa.
Gugatan tersebut diajukan oleh Lita Linggayani Gading dan Syamsul Jahidin dengan nomor perkara 176/PUU-XXIII/2025 yang teregistrasi pada 30 September 2025. Mereka menilai sistem pensiun bagi anggota DPR tidak adil, membebani APBN, dan bertentangan dengan prinsip keadilan sosial dalam UUD 1945.
“Rakyat biasa harus menabung lewat BPJS Ketenagakerjaan atau program pensiun lain yang penuh syarat. anggota DPR justru mendapat pensiun seumur hidup hanya dengan sekali duduk di kursi parlemen.,” ujar pemohon dalam dokumen yang diunggah di situs resmi MK, dikutip pada Kamis (2/10/2025).
Dalam gugatannya, pemohon mempersoalkan pasal 1 huruf a, pasal 1 huruf f, dan pasal 12 UU Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tinggi Negara.
Mereka mengutip Surat Menteri Keuangan S-520/MK.02/2016 dan Surat Edaran Setjen DPR RI KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 yang menyebutkan bahwa pensiun DPR mencapai sekitar 60% dari gaji pokok, dan tetap diberikan meski hanya menjabat satu periode. Tak hanya itu, anggota DPR juga disebut berhak atas Tunjangan Hari Tua (THT) senilai Rp 15 juta yang dibayarkan sekaligus.
Pemohon juga membandingkan skema pensiun DPR dengan lembaga negara lainnya. Hakim, ASN, TNI, Polri, dan BPK hanya berhak mendapat pensiun setelah mengabdi minimal 10 hingga 35 tahun. Sementara, untuk DPR, cukup satu periode (5 tahun) menjabat, mereka langsung berhak menerima manfaat pensiun seumur hidup.
Berdasarkan perhitungan pemohon, sejak UU No. 12 Tahun 1980 berlaku, ada sekitar 5.175 mantan anggota DPR yang telah atau sedang menerima pensiun. Total beban anggaran negara untuk pembayaran pensiun tersebut diperkirakan mencapai Rp 226 miliar. Pemohon menilai ini merugikan keuangan negara dan membebani pajak rakyat.
Dalam petitumnya, pemohon meminta Mahkamah menyatakan bahwa pasal-pasal terkait pensiun DPR bertentangan dengan UUD 1945, dan agar makna “Anggota Lembaga Tinggi Negara” tidak lagi mencakup anggota DPR. Pemohon juga meminta agar MK memerintahkan putusan dimuat dalam Berita Negara RI, serta meminta Mahkamah memberi putusan seadil-adilnya.
Gugatan ini menjadi perhatian publik di media sosial. Sejumlah warganet mendukung langkah pemohon dan menilai sudah saatnya hak istimewa DPR dievaluasi. “Kalau rakyat harus kerja puluhan tahun untuk dapat pensiun, kenapa DPR cukup lima tahun?” tulis salah satu pengguna X (Twitter).(adr)