KUBUS.ID – Di era digital yang semakin canggih, fenomena remaja yang lebih memilih curhat ke chatbot berbasis Artificial Intelligence (AI) seperti ChatGPT menjadi hal yang kian umum terjadi. Bukannya bercerita kepada orang tua, guru, atau sahabat, tak sedikit dari mereka yang lebih nyaman menumpahkan isi hati kepada chatbot. Mengapa ini bisa terjadi, dan apa dampaknya?
Menurut Psikolog Anak dan Remaja, Firesta Farizal, M.Psi., Psikolog, pilihan ini tidak muncul secara tiba-tiba. Ada faktor-faktor tertentu yang mendorong remaja menjadikan teknologi sebagai “teman curhat”.
Chatbot: Teman Virtual yang Tak Menghakimi
Firesta menjelaskan bahwa remaja tertarik pada chatbot karena bisa merespons dengan cepat, bersifat netral tanpa menghakimi, dan menjaga rahasia. Chatbot AI dirancang untuk memahami bahasa manusia, menyesuaikan gaya bicara, bahkan mampu ‘menirukan’ empati dalam balasan-balasan yang diberikan.
“Remaja merasa didengarkan, dan itu membuat mereka nyaman,” ujar Firesta. Di tengah dinamika kehidupan remaja yang penuh tekanan, kehadiran chatbot yang selalu tersedia 24/7 menjadi solusi instan untuk meluapkan emosi.
Namun, di balik kenyamanan ini, tersembunyi ancaman yang tak bisa diabaikan begitu saja.
Risiko Ketergantungan Emosional pada AI
Kebiasaan curhat ke chatbot jika tidak dibatasi dengan bijak bisa berdampak buruk dalam jangka panjang. Salah satu kekhawatiran utama adalah menurunnya kemampuan remaja dalam bersosialisasi di dunia nyata.
“AI tidak bisa sepenuhnya menggantikan relasi emosional antarmanusia,” tegas Firesta. Meskipun AI dapat merespons layaknya teman bicara, ia tidak memiliki empati sejati, pemahaman konteks mendalam, atau pengalaman emosional seperti manusia.
Dalam kasus tertentu, terutama ketika remaja sedang mengalami tekanan psikologis berat, respons dari chatbot bisa saja tidak sesuai atau justru memperburuk keadaan.
Peran Orang Tua Tidak Bisa Digantikan Teknologi
Daripada melarang anak menggunakan chatbot, Firesta menyarankan orang tua untuk fokus pada membangun ikatan emosional yang kuat dengan anak sejak dini. Anak perlu merasa aman, diterima, dan dihargai ketika menyampaikan perasaannya.
“Jangan hanya hadir secara fisik, tapi juga secara psikologis. Dengarkan tanpa menghakimi, pahami sudut pandangnya, dan berikan dukungan sebelum memberi nasihat,” jelasnya.
Dengan membangun ruang komunikasi yang sehat, remaja akan lebih mungkin terbuka kepada orang tua dibandingkan mencari pelarian ke chatbot.
Gunakan Chatbot dengan Bijak, Bukan Dihindari Sepenuhnya
Firesta tidak melarang penggunaan chatbot sebagai media curhat, selama digunakan secara bijak. Orang tua bisa berdiskusi dengan anak tentang batasan penggunaan: kapan AI boleh digunakan dan kapan perlu berbicara langsung dengan manusia — baik itu orang tua, guru, sahabat, atau psikolog.
Penting pula memberikan edukasi tentang kesehatan mental sejak dini. Remaja harus dikenalkan pada tanda-tanda stres, kecemasan, hingga kelelahan emosional. Lebih dari itu, mereka juga perlu diarahkan pada cara-cara sehat untuk mengatasi masalah dan mencari bantuan dari pihak yang tepat.
Penutup: Teknologi Boleh Dekat, Tapi Manusia Harus Lebih Dekat
Chatbot AI memang bisa membantu remaja merasa “didengar”, tetapi tetap tidak bisa menggantikan kehangatan, empati, dan dukungan emosional nyata dari orang-orang terdekat. Orang tua, guru, dan lingkungan sekitar memiliki peran penting dalam memastikan remaja tidak merasa sendirian menghadapi dunia yang semakin kompleks.
Teknologi boleh semakin canggih, tapi jangan sampai kedekatan emosional dalam keluarga menjadi hal yang terlupakan.
Source: Kompas.com