Beranda Opini Sumatera Darurat Ekologi: Rakyat Mati, Negara Tak Boleh Lagi Berlindung Dibalik Kata...

Sumatera Darurat Ekologi: Rakyat Mati, Negara Tak Boleh Lagi Berlindung Dibalik Kata ‘MUSIBAH’

27
Jeannie Latumahina Ketum RPA Indonesia (Foto: dok. pribadi)

Oleh: Jeannie Latumahina

KUBUS.ID – Ratusan warga telah mati. Ratusan lainnya hilang, entah di mana jasad mereka terperangkap lumpur dan reruntuhan bukit yang digunduli. Sumatra hari ini bukan sekadar berduka. Sumatra sedang menjerit keras. Ini bukan bencana alam. Ini sudah seperti pembantaian ekologis yang terjadi oleh karena negara membiarkan hutan-hutan diratakan dengan alasan investasi dan pembangunan. Ketika sebuah bangsa telah kehilangan 631 warganya dalam satu rangkaian bencana, itu bukan lagi musibah. Itu sinyal keras bahwa negara sedang gagal menjalankan fungsi dasarnya untuk melindungi rakyatnya.

Kita tidak boleh lagi menormalisasi kematian massal ini. Tidak boleh ada lagi pejabat berdasi yang berdiri di depan kamera sambil mengucapkan belasungkawa manis, seolah yang terjadi hanyalah peristiwa yang datang tiba-tiba. Bukan. Ini adalah akibat langsung dari puluhan tahun deforestasi brutal yang terjadi di kawasan hulu DAS Sumatra. Global Forest Watch mencatat Indonesia kehilangan 10,7 juta hektare hutan primer dalam dua dekade terakhir. Dan semua orang tahu, bahwa hilangnya hutan primer berarti hilangnya sistem pertahanan alam. Bukit yang dulu kokoh kini rapuh. Lembah yang dulu aman kini menjadi jalur maut. Sungai yang dulu tenang kini berubah menjadi kereta api lumpur yang telah menghancurkan apa pun di depannya.

Dan yang paling menyakitkan dari semua itu bukan misteri. Semua sudah diperingatkan ilmuwan, aktivis, akademisi, bahkan warga lokal. Tapi izinnya pengrusakan alam terus saja keluar. Ekskavator terus naik ke bukit. Hutan terus ditebang. Dan ketika bencana datang, yang mati jelas bukan pemilik modal, melainkan rakyat kecil yang rumahnya berada di bawah bukit yang dikeruk habis.

Apakah negara bisa berpura-pura tidak tahu? Tidak. Negara sudah tahu. Pemerintah tahu. Pejabat-pejabat daerah tahu. Semua orang yang memegang otoritas tahu bahwa kawasan hulu telah dijarah untuk sawit, tambang, dan konsesi yang diberikan dengan mudahnya. Negara tahu bahwa setiap PPKH yang diberi tanpa pengawasan berarti satu ancaman baru bagi desa di hilir. Tapi tetap saja mereka biarkan. Dan hari ini, rakyatlah yang harus membayar dengan nyawa mereka.

Negara tidak boleh lagi berlindung di balik istilah “musibah alam.” Cukup sudah. Saat ratusan warga mati terseret banjir bandang, itu bukan alam yang salah. Itu kebijakan yang salah. Itu keberpihakan yang salah. Itu tanda negara terlalu lama memihak modal, bukan rakyat.

Karena itu, langkah setengah hati tidak lagi cukup. Negara harus menghentikan semua aktivitas eksploitasi di kawasan rawan tersebut, bukan besok, bukan minggu depan, tetapi sekarang. Audit semua izin, tanpa kecuali. Bongkar habis jaringan yang memperjualbelikan hutan. Proses pidana bukan hanya operator, tapi pemilik modal dan pejabat pemberi izin yang lalai. Jika negara tidak mampu melakukan itu, maka negara sedang memilih untuk membiarkan warganya terus mati.

Tragedi di Sumatra bukan sekadar luka ekologis, ini jelas-jelas luka bangsa. Dan bangsa yang membiarkan warganya mati karena kesalahan yang bisa dicegah adalah bangsa yang kehilangan kompas moralnya. Menjaga hutan berarti menjaga kehidupan. Kita sudah kehilangan ratusan jiwa. Berapa lagi yang harus mati sebelum negara benar-benar bangun?

Sumatra telah membayar dengan darah. Kini giliran negara menunjukkan keberanian politik. Jika tidak, maka setiap tetes air yang jatuh dari langit akan selalu membawa ancaman. Dan setiap musim hujan akan menjadi musim kematian.(*)

Jakarta 2 Desember 2025

*Penulis adalah Ketua Umum Relawan Perempuan dan Anak (RPA) Indonesia

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini