Beranda Kediri Raya Tunjangan DPR Meroket, Pakar: Antara Kebutuhan Riil dan Politik yang Tak Sehat

Tunjangan DPR Meroket, Pakar: Antara Kebutuhan Riil dan Politik yang Tak Sehat

3
Dr. Suko Widodo, Pakar Komunikasi Politik Unair

KUBUS.ID – Wacana naiknya tunjangan untuk anggota DPR kembali menuai polemik di tengah masyarakat. Jika ditotal, jumlah Take Home Pay dari Anggota DPR RI bisa mencapai Rp100 juta per bulan, karena ada penambahan tunjangan kompensasi rumah senilai Rp50 Juta dan besarnya tunjangan lain.

Pakar Komunikasi Politik Universitas Airlangga (Unair), Dr. Suko Widodo, menilai isu ini tak bisa dilepaskan dari sistem politik yang masih belum sehat dan minim transparansi.

“Kalau bicara soal pantas atau tidak, kita harus tanya dulu: hitungannya dari mana?” ujar Suko saat dimintai tanggapan.

Menurutnya, penentuan gaji semestinya berangkat dari kebutuhan riil, bukan sekadar berdasarkan regulasi yang ada. Ia mencontohkan tunjangan komunikasi yang diterima anggota dewan setiap harinya.

“Misalnya, sehari dikasih Rp100 ribu, cukup nggak? Atau malah perlu Rp3 juta? Itu harus direview lagi, apalagi di tengah situasi di mana presiden mendorong efisiensi anggaran,” jelasnya.

Namun Suko menekankan, persoalannya bukan semata soal angka. Ia melihat dari kacamata masyarakat, hampir tidak ada tanggapan positif melihat isu ini.

“Tapi, ya begitulah sistem politik kita. Kasus seperti ini akan terus terjadi karena memang sistemnya membuka peluang,” katanya.

Ia menyebut salah satu akar persoalan ada pada praktik politik uang sejak masa pemilu. “Gaji itu sebenarnya bisa direalistiskan. Tapi mau direalisasikan kayak apa, wong dari awal udah keluar duit banyak buat nyalon. Kompetisi politik kita belum sehat, jadi ya nggak nutut — karena ‘kulakane’ (modal awalnya) juga besar,” ujarnya blak-blakan.

Meski begitu, Suko juga mengungkap sisi lain yang jarang terdengar yaitu beban sosial yang dipikul para anggota dewan. Ia mengaku beberapa kali ada anggota DPR yang berkeluh kesah terlalu banyak permintaan dan proposal yang masuk dari masyarakat.

“Temen-temen DPR itu kadang saya juga kasihan. Mereka sering jadi tempat masyarakat mengajukan proposal, dari acara hajatan sampai khitanan. Itu bukan tugas legislatif, tapi terjadi karena ada ekspektasi masyarakat,” jelasnya.

Untuk membenahi semua itu, menurutnya, perlu kemauan politik yang serius. Menurutnya ada pihak yang harus dimintai pertanggungjawaban bukan individu anggota DPR saja, tapi partai politiknya.

“Selama ini parpol seperti pemegang saham, terutama Ketua Parpol. Karena mereka yang menentukan siapa duduk di mana, lalu kebijakan apa yang ditetapkan,” ujar Suko. Ia juga menyoroti lemahnya kemandirian partai di Indonesia dan juga sistem meritokrasi yang belum berjalan karena terjebak kepemimpinan dinasti dalam parpol. Menurut Suko, tanpa reformasi serius terhadap parpol, polemik seperti ini akan terus berulang. (nhd)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini