KUBUS.ID – Tak dapat dipungkiri bahwa beberapa orang akan mengkritisi cara seorang ibu mengasuh anaknya, terutama ketika apa yang dilakukan ibu dianggap “salah”. Padahal, belum tentu apa yang dilakukan salah. Akibatnya, ibu yang mendengar kritik tersebut merasa kurang percaya diri dengan pola pengasuhannya.
Ketua Health Collaborative Center (HCC) Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH. mengatakan, ini sudah termasuk tindakan mom-shaming.
“Peran ibu dalam pengasuhan anak itu tidak boleh dikritik karena pengasuhan anak itu subyektif,” ungkap dia di Jakarta, Senin (1/7/2024).
Mom-shaming adalah tindakan mengkritik atau mempermalukan seorang ibu terkait cara dia membesarkan anaknya.
Biasanya, kritik yang dituturkan tidak membangun dan justru berdampak pada kesehatan fisik dan mental ibu.
Menurut Ray, setiap ibu harus didukung dalam mengasuh anaknya. Model kritik apapun, terutama yang mempermalukan ibu, adalah mom-shaming.
“Tidak ada yang namanya kritik membangun dalam pengasuhan. Pengasuhan itu cuma satu, diberi dukungan,” tegas Ray.
Pola asuh bersifat subyektif Ray menjelaskan, ada kaitan antara kritik terhadap pola asuh anak dengan budaya di Asia yang memiliki sistem superioritas.
Sebagai contoh, seorang suami dan istri tumbuh menjadi individu seperti saat ini karena diasuh oleh orangtua masing-masing.
Karena berhasil tumbuh sampai dewasa dan berkeluarga, orangtua menganggap bahwa pola pengasuhan mereka benar.
Jadi, mereka dianggap sepatutnya mendengarkan apa yang disampaikan orangtua mereka perihal pengasuhan anak mereka.
“Modelnya adalah kritik karena “kita sudah benar dulu, kamu enggak benar”. Itu yang terjadi di budaya Asia, di Indonesia,” ujar Ray.
Padahal, terkait pengasuhan anak, hal tersebut bersifat subyektif karena setiap anak berbeda-beda. Bahkan, dilihat dari susunan DNA pun setiap anak memiliki satu set kromosom yang berbeda-beda yang terbentuk dari masing-masing orangtuanya.
Oleh karena itu, tidak ada pakem terkait pola pengasuhan anak. Jika ada pun hal tersebut berdasarkan kasus yang sudah ada. Yang mana, ucap Ray, kasus tersebut belum tentu sesuai dengan kondisi anak yang sedang diasuh.
“Karena pengasuhan adalah subyektif dan unik per masing-masing anak. Jadi, tidak ada textbook pengasuhan karena modelnya beda, kasusnya beda, karakteristik anak beda,” tegas dia.
Sebagai informasi, penelitian dari HCC mengungkapkan, 72 persen atau tujuh dari sepuluh ibu di Indonesia mengalami mom-shaming. Dampaknya signifikan terhadap kesehatan mental dan emosional mereka.
Pasalnya, para pelaku atau aktor mom-shaming berasal dari lingkungan inti mereka, yaitu keluarga, kerabat, dan lingkungan tempat tinggal.
Temuan ini berdasarkan studi yang berlangsung sejak Maret 2024 dan melibatkan 892 ibu di Indonesia sebagai responden.
Masing-masing partisipan cukup beragam perihal pendidikan terakhir, usia, pekerjaan, status pernikahan, dan jumlah anak.
Sumber: kompas.com