KUBUS.ID – Keluarga Suratin, warga Desa Kanyoran Kecamatan Semen Kabupaten Kediri yang menjadi korban dugaan penyalahgunaan kekuasaan yang mengakibatkan kehilangan sertifikat rumahnya mendatangi Kejaksaan Negeri Kabupaten Kediri, Jumat (5/7/2024). Kedatangan mereka menanyakan atas kelanjutan kasus yang sudah tiga minggu tak ada kejelasan.
Kuasa hukum korban, Supani saat ditemui Jurnalis Radio Andika mengaku pelaporan pada 11 Juni 2024 lalu hingga sekarang belum ada tindak lanjut dan terkesan mengambang.
“Kami menanyakan kelanjutan kasus ini karena sudah lama tidak ada perkembangan,” jelasnya.
Dari pertemuan tersebut, Supani berharap agar kasus penyalahgunaan wewenang ini bisa segera ditindaklanjuti. Sebab keluarga korban saat ini banyak mendapatkan intimidasi dari oknum tak dikenal karena laporan awal lalu.
“Baik perdata maupun pidana segera ditindak,” tegasnya.
Sementara itu, Kasi Intelejen Kejari Kabupaten Kediri, Iwan Nuzuardi mengaku dalam jangka dekat ini akan menindaklanjuti kasus tersebut sesuai dengan ranah hukum.
“Kita akan tindaklanjuti, sesuai dengan kewenangan kami. Kalau ada hal yang tidak bisa kami masuki kami akan arahkan ke pihak yang berwenang misalnya inspektorat atau kepolisian,” ucapnya.
Sebelumnya, Warga Desa Kanyoran Kecamatan Semen Kabupaten Kediri, Suratin melaporkan oknum kepala desa, Yitna ke Kejaksaan Negeri Kabupaten Kediri, Selasa (11/6/2024) lalu. Akibat dari kejadian tersebut, keluarga Suratin harus kehilangan sertifikat rumah dan berpotensi untuk keluar dari rumah tersebut.
Supani menuturkan awal mula kejadian itu, dimana pada tahun 2020 silam, Suratin tengah meminjam uang ke Bank BRI lewat pinjaman KUR untuk pembiayaan pertanian bawang merah di sawahnya sebesar Rp 100 juta dengan tenor pengembalian selama satu tahun. Karena Covid-19 melanda, Suratin akhirnya hanya bisa membayar sebesar Rp 20 juta melalui anaknya yang bernama Riana.
“Klien kami nunggak, tak bisa bayar karena Covid-19 gagal panen. Setelah itu minta saran ke Pak lurah,” terang Supani.
Dari saran itu, Suratin diarahkan ke Suroto untuk mencari solusi atas sisa hutang di Bank BRI tersebut. Mereka akhirnya bertemu dengan Nyuji yang tak lain adalah ayah dari Suroto. Kemudian Suroto mengaku telah menyelesaikan pinjaman di Bank BRI tersebut.
Namun, Suratin tak diberitahu tanggal berapa karena jaminan sertifikat rumah miliknya belum kembali. Saat ditanyakan ke mantri Bank BRI setempat juga tak ada respon.
“Kata klien kami pinjaman di Bank BRI sudah diselesaikan oleh Suroto dan Nyuji,” tuturnya.
Seiring berjalannya waktu, Suratin dipanggil ke balai desa setempat untuk menyelesaikan masalah hutang di BRI tersebut. Di sana, Suratin bertemu dengan kepala desa, Suroto, Nyuji dan ada binmas serta saksi Saeful Anwar. Suratin disuruh untuk menandatangani berkas kesepakatan dengan isi bahwa hutang di BRI telah dibayarkan Suroto dan Nyuji.
“Klien kami tanda nurut dan tangan saja, karena dia buta huruf dan tidak bisa baca,” ucapnya.
Setelah di rumah, kutipan foto copy surat pernyataan yang dibawa Suratin dibaca oleh sang anak. Namun bukan sejumlah Rp 100 juta, melainkan hutang Rp 260 juta yang telah dibayarkan Nyuji ke Bank BRI dengan kalimat uang tersebut benar-benar digunakan oleh Suratin.
Atas kejadian itu, Suroto dan Nyuji beberapa kali mendatangi rumah Suratin untuk memberi peringatan karena sudah tidak memiliki hak dan harus meninggalkan rumah dalam kurun waktu 3 bulan.
“Kami merasa klien kami dirugikan atas tindakan tersebut dan hari ini kami laporkan ke Kejaksaan Negeri Kabupaten Kediri,” ungkapnya.(sya/stm)